Rumah mewah itu menjulang angkuh di tepi pantai. Sebentuk bangunan bernuansa off white berdiri dilatarbelakangi birunya laut dan hamparan pasir putih.Â
Hunian dengan empat kamar utama, dua kamar tamu, enam kamar mandi full marmer, dan kantor. Antara rumah dan kantor dipisahkan selasar pendek berumput hijau.
Sofa lembut berwarna broken white, permadani tebal, dan meja berkaki ramping memenuhi ruang tamu. Anak-anak tangga terbuat dari marmer. Lampu kristal besar dan menawan menggantung dari langit-langit.
Berbeda dengan ruang tamu, dapur rumah itu berlantai kayu. Pemiliknya memadukan kayu dan stainless dalam kabin set. Rumah semewah ini, menunjukkan pemiliknya sangat kaya. Siapakah pemiliknya?
"Tuan Assegaf sedang shalat Dhuha," lapor seorang pelayan bercelemek putih.
Calvin mengangguk sopan. Kembali duduk di sofa. Revan menemaninya. Kegugupan mengalir, ia baru pertama kali datang untuk bekerja di sini.
"Tenang saja. Abi Assegaf orangnya baik. Kamu pasti nyaman di sini."
Entahlah, Calvin tak mudah percaya orang lain. Dia pun mau melakukan ini karena terdesak: demi biaya pengobatan dan karena bujukan Revan. Intuisinya mengatakan, ini pilihan terbaik.
Seperempat jam kemudian, terdengar derap langkah menuruni tangga. Pria tampan berparas Timur Tengah dan berumur sekitar 50-an mendekati mereka. Tatapannya meneduhkan. Sekali pandang saja, hati Calvin terasa sejuk.
"Assalamualaikum, Tuan Assegaf." sapanya. Dalam hati memarahi lidahnya yang tak bisa fasih melafalkan salam dalam agama Islam itu.
"Waalaikumsalam. Panggil saya Abi Assegaf," balas pria itu. Suara barithonnya lembut dan berwibawa.