Kompasianer, sudah ada yang baca 'tabloid' Indonesia Barokah? Young Lady sudah baca. Tepatnya minggu kemarin.
Ceritanya begini. Young Lady cantik penasaran apa isinya. Mengapa begitu ramai diperdebatkan dan menjadi layak untuk diperbincangkan setajam...ups, itu sih tagline program infotainment.
Seorang teman mengirimi Young Lady soft copy Indonesia Barokah. Jam makan siang pun Young Lady lewatkan dengan membacanya. Menuntaskan rasa penasaran.
Saat membacanya...
Semenit. Tiga menit. Lima menit, oh my Baby, demi Justin Timberlake yang bisa menari Bali, Young Lady tertawa. Tertawa cantik.
Iya, Young Lady tertawa. Kenapa coba? Karena isinya sama sekali jauh dari tabloid!
Coba, Young Lady tanya sama yang udah baca. Kalian sadar nggak, bahasa dalam tulisan-tulisan di Indonesia Barokah itu sangat kaku. Terlalu kaku dan baku untuk sebuah tabloid. Para penulisnya, oknum-oknum antah berantah itu, tidak menguasai teknik penulisan artikel populer.Â
Hellooooo, bedakan dong antara artikel populer dan artikel ilmiah. Kelihatan benar kalau para penulisnya tidak paham produk jurnalistik. Seserius apa pun isi sebuah tabloid, bahasanya tidak akan sekaku itu.
Itu dari sudut bahasa. Bagaimana dengan redaksinya? Fiktif, guys. Setelah ditelusuri, alamat kantor itu ternyata fiktif. Seperti dilansir detik.com.
Lebih aneh lagi, masa redaksi tabloid tidak punya nomor telepon kantor? Di halaman depan, hanya tercantum nomor handphone. Tabloid apaan itu? Redaksi abal-abal.
Dari sisi pemasaran pun janggal. Tabloid dan produk jurnalistik lainnya lazim dipasarkan dengan teknik marketing tertentu. Apalah itu, Young Lady tak paham soal marketing produk. Yang jelas, sistem pemasarannya bukan dikirimkan via pos ke pondok-pondok pesantren.Â