Arlita mengejar Assegaf. Tidak, ia tidak ingin pria tampan itu pergi. Gaun tidurnya berkibaran ditiup angin malam. Helaian rambut terlepas dari ikatan.
"Assegaf...how do I get through one night without you?" desahnya sedih.
Langkah kaki Assegaf sontak terhenti. Dilihatnya wajah Arlita kalut, teramat kalut. Tak ada embun bening di mata gadisnya. Namun, belum tentu kesedihan bisa terlunasi dengan air mata.
"Aku tidak akan pergi, Arlita." ujar Assegaf dengan suara bergetar.
Arlita gelisah saat harus berpisah. Entah apa jadinya bila Arlita hidup tanpa Assegaf. Malam demi malam ia tenggelam dalam kesedihan, menyesali perbedaan yang menghalangi mereka.
Mengapa Arlita terlahir sebagai Katolik? Jika dia dan keluarganya Muslim, mungkin takkan serumit ini. Sayangnya, seseorang tidak bisa memilih dari keluarga mana ia ingin dilahirkan.
"Jangan menyesali takdir, Arlita."
Suara lembut Assegaf memecah butir-butir kesedihan. Nafas Arlita cepat dan terputus-putus. Bola matanya memanas.
Biarlah, biarlah taman kompleks perumahan elite ini menjadi saksi bisu pertemuan terlarang. Bangku-bangku taman bertelinga, rumput punya mata. Bunga-bunga merasakan. Kesedihan Arlita dan Assegaf teramat dalam.
"Pulanglah. Jangan buat Om Rudolf marah lagi. Aku mengkhawatirkanmu." pinta Assegaf, lembut membelai rambut Arlita.
"Nope."