Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Langit Seputih Mutiara] Risalah Toleransi

2 Januari 2019   06:00 Diperbarui: 2 Januari 2019   08:24 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rudolf Florensius tergolong fanatik. Di depan publik, pria Jerman yang telah puluhan tahun tinggal di Indonesia itu menyetujui konsep pluralisme. Namun, bila ia harus memilih calon menantu Katolik atau Muslim, jawabannya tetap sama.

"Pergi kamu, Assegaf! Sampai kapan pun, saya tak akan sudi punya menantu seperti kamu!"

Diusir berkali-kali, sudah biasa. Dilarang keras menemui Arlita, lagu lama. Dibentak-bentak kasar dan dilukai, tak lagi membuatnya sakit. Zaki Assegaf belajar melapangkan hati.

Melapangkan hati perlu proses panjang. Jika hati telah lapang, berliter-liter racun yang ditumpahkan akan terlarut begitu saja. Hantaman rasa sakit berulang kali tak lagi terasa memberatkan.

"Saya cinta Arlita, Anda harus tahu itu." kata Assegaf, tegas dan berwibawa.

Wajah Rudolf memerah menahan amarah. Kedua tangannya terkepal erat. Buku-buku jarinya memutih. Ia tak suka perintahnya dilawan.

"Akan saya beri tahu Hamid Assegaf soal ini!" geramnya, bergegas meraih telepon.

Assegaf tersenyum miris. Tak ada artinya. Ayahnya itu terlalu sibuk bermesraan dengan istri baru di kapal pesiar mewah. Entah anak tunggalnya akan menikah atau selibat, mana peduli?

Dalam satu hentakan, Rudolf membanting telepon. Gagal menghubungi Hamid. Gelembung kemarahan belum pecah.

Dari balik kaca partisi, Arlita perhatikan itu semua. Ia tak tahan lagi. Papinya sudah kelewatan. Gadis secantik Gabriella Sabatini itu berjalan menyamping, lalu membuka pintu ruang tamu.

"Papi, kumohon berhenti..." pintanya, sedih bercampur manja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun