Arlita menjawab tiap pertanyaan dengan santai tetapi elegan. Sikapnya tenang. Smiling voice tetap terjaga. Gesture dan ekspresinya natural. Meski tak bisa dicegah, beberapa kali ia mengerling bangga pada sang putra. Sorot kasih sayang terpancar dalam di mata wanita blasteran Jerman itu.
"Arlita, bagaimana cara Anda membagi waktu antara karier dan keluarga?"
"Tiap minggu, saya selalu menyusun jadwal kegiatan bersama asisten saya. Sepadat apa pun jadwal pekerjaan, saya berkomitmen harus ada satu-dua jam dalam sehari untuk quality time dengan keluarga. Sebisa mungkin, akhir pekan saya selalu mengosongkan kegiatan di luar. Bisa saja pagi-pagi saya sudah tak di rumah. Tapi malamnya, waktu saya haruslah full buat keluarga. Bagi saya, keluarga adalah prioritas utama. Lebih baik saya kehilangan job dari pada kehilangan waktu bersama keluarga."
"Wow, bagus sekali. Lalu...sekarang ini, adakah perubahan? Sejak suami Anda jatuh sakit, dan Anda harus merawatnya...?"
"Tentu saja. Saya memangkas banyak kegiatan di luar. Kesehatan suami, itu jauh lebih penting."
"Bagaimana dengan anak-anak Anda? Sedekat apa Anda dengan mereka?"
Seperti ada bulu-bulu hakus menggelitiki hati Adica saat melempar pertanyaan itu. Senyum simpul bermain di bibir tipis Arlita.
"Saya mengasihi mereka dengan porsi yang sama. Memiliki mereka membuat hidup saya terasa lengkap. Saya memiliki anak perempuan dan anak laki-laki, nikmat mana lagi yang saya dustakan? Tak semua perempuan diberi kehormatan seperti itu. Sebagai rasa syukur, saya cintai mereka sepenuh jiwa."
Hati Adica berdesir mendengarnya. Pertanyaan itu menutup segmen kedua. Ada jeda iklan dan lagu.
Tepat pada saat itu, pintu studio membuka. Seorang staf wanita yang sudah cukup tua masuk membawa map. Beberapa lembar kertas dan amplop putih tersimpan di map itu. Disodorkannya map biru ke tangan Arlita.
"Arlita, kau tanda tangan di sini. Ini laporan keuangan untuk program Dunia Wanita. Biar ada transparansi, nanti aku ditegur suamimu."