Malam terlempar dari angkasa. Berkas-berkas sinar terang menandakan tersingkirnya malam yang telah digantikan pagi. Embun dingin menyentuh dedaunan. Kabut tipis menutup separuh langit.
Pagi berkabut menyapa Refrain Radio. Seperti juga Refrain yang setia menyapa pendengarnya dari pagi hingga larut malam. Kotak siaran tak pernah mati.
Bukti toleransi terlihat jelas di kotak siaran. Lihat saja gadis cantik yang tengah bersiaran itu. Ia membawakan program siaran agama Islam. Kalung salib yang melingkari leher jenjangnya menandakan kalau dia bukan pengikut Nabi Muhammad.
Meski tidak mengimani, Arlita sangat mengerti agama Islam. Ia belajar sedikit demi sedikit sejak bergabung di Refrain. Terlebih, sejak lebih dekat dengan...
"Assegaf." Arlita membisikkan nama itu, pelan sekali.
Diam-diam dia menyesali dirinya sendiri. Mengapa justru memikirkan pria itu di saat siaran? Untunglah Kyai Soimun masih membawakan materi. Praktis tak ada yang menyadarinya.
Pintu studio membuka. Panjang umur, bisik Arlita dalam hati. Pria yang dipikirkaannya muncul di depan mata. Wangi Calvin Klein menyeruak. Pria itu meletakkan kotak styrofoam berisi Yughmish, roti khas Arab berisi daging sapi cincang dan dibumbui rempah-rempah.
"For me?" tanya Arlita, matanya membola.
Pria Arab-Indonesia itu mengangguk. Arlita tersenyum berterima kasih. Assegaf perhatian sekali, pikirnya. Dia tahu Arlita tak suka makan nasi di pagi hari.
"Jangan pernah lewatkan sarapan. Nanti kamu bisa sakit." Si pria rupawan mengingatkan.
Perlahan Arlita memakan roti isi daging itu. Tak sadar sepasang mata teduh menatapinya. Pemilik mata itu mengagumi kecantikan dan keanggunan Arlita.
Usai membawakan program Kuliah Subuh, Arlita pamit. Dia harus Misa. Tergesa gadis Indo-Jerman itu berjalan pergi. Diiringi tatapan sedih dan sepi.
Sepi? Ya, pria berjas putih tanpa dasi itu kesepian. Sedikit yang tahu, pemilik Refrain Radio itu benci Hari Minggu. Mungkin terdengar aneh bila ada orang membenci Hari Minggu. Ya, tapi pria ini membencinya.
Minggu seharusnya jadi hari yang menyenangkan. Di hari itu, orang-orang libur dari aktivitasnya dan bebas melakukan apa saja. Eits, Hari Minggu belum tentu libur bagi insan radio. Justru ada penyiar-penyiar tertentu yang bertugas di Hari Minggu.
Namun, bukan karena tugas yang membuatnya benci. Ia benci Hari Minggu sebab ada kenyataan pahit yang harus dihadapinya tiap kali hari itu tiba. Realita bersemi, tembok pemisah menjulang tinggi.
Pria tampan itu memasang beberapa lagu dan filler. Lagu pertama mewakili perasaannya.
Bukan cinta yang melukai hidupku
Dan meninggalkan diriku lagi
Tolonglah aku dari kehampaan ini
Selamatkan cintaku dari hancurnya hatiku
Hempaskan kesendirian yang tak pernah berakhir
Bebaskan aku dari keadaan ini
Sempurnakan hidupku dari rapuhnya jiwaku
Adakah seseorang
Yang melepaskanku
Dari kesepian ini (Dygta-Kesepian).
Kesepian, tepat sekali. Kata itu melukiskan perasaannya. Hari Minggu, hari paling kesepian baginya.
Tiap Hari Minggu, Arlita pergi Misa. Tidak hanya itu. Ia akan di gereja sampai petang. Jadwal kegiatan keagamannya full.
Pantas saja pria tampan itu kesepian. Ia didera virus kesepian tingkat akut. Bukan hanya karena ditinggal Arlita. Tetapi juga karena teringat perihnya perbedaan.
Tangan pria muda itu bergerak pelan meraba kalung tasbih di lehernya. Sebentuk kalung indah yang tak pernah ia lepaskan. Kenang-kenangannya umrah pertama kali saat berusia delapan tahun. Sejak kecil, orang tuanya telah sering mengajaknya ke negeri leluhur di Tanah Suci sana.
Selalu ia rasakan letupan kebanggaan pada kalung tasbih ini. Belakangan, rasa bangganya ternoda kesedihan dan ironi. Kalung tasbihnya mengingatkan pada perbedaan.
Dirinya dan Arlita berbeda, sangat berbeda. Lihat saja pola ibadah mereka. Berbeda, kan? Dirinya beribadah lima kali dalam sehari-semalam. Arlita hanya beribadah seminggu sekali.
Lama ia tenggelam dalam kesedihan. Perbedaan itu, indah dan menyakitkan.
Pria itu menumpuk rasa cintanya di dalam hati. Simpanan rasa cinta ia investasikan dalam bentuk doa pada Illahi. Amat berharap investasi doanya menuai keuntungan besar berupa jatuhnya Arlita ke dalam pelukan. Bukankah mendapat cinta sejati adalah keuntungan tak ternilai?
Dusta besar bila ada yang mengatakan pria ini tidak pernah memperjuangkan Arlita. Dia perjuangkan Arlita lewat doa. Doa di tiap sujud, doa di kala hujan, doa tiap kali shalat fardu, dan doa-doa intens di sepertiga malam. Nama Arlita tak pernah terhapus dalam doa-doanya.
Di tengah kesedihan, pria itu menangkupkan tangan. Kembali ia berdoa. Mendoakan hidayah untuk Arlita. Tak mungkin ia menikah beda agama dengan gadis itu. Terlalu besar risikonya.
"Ya, Allah, berikan dia untukku. Aku sangat mencintai Arlita..." doa pria itu lirih.
Kedatangan Deddy menghentikan doanya. Bukan lantaran tak khusyuk, melainkan hanya ingin menghargai sahabatnya.
Deddy masuk studio. Satu tangannya menenteng bungkusan putih berisi botol obat. Dilemparkannya botol obat itu ke pangkuan sahabat Timur Tengahnya.
"Tadi ketinggalan di mobil," katanya singkat.
"Terima kasih, Deddy." Pria itu tersenyum, pelan membuka tutup botol.
"Minum obatmu. Kamu kan sering sakit. Beda sama aku dan Sasmita."
Di balik kata-kata pedasnya, Deddy sangat perhatian. Persahabatan tiga pendiri Refrain cukup terkenal. Persahabatan beda etnis, sifat, dan riwayat kesehatan. Banyak perbedaan di antara mereka bertiga. Namun, persahabatan mereka begitu erat.
"Dimana Sasmita?" tanya pria pemendam cinta Arlita itu setelah meminum obat.
"Masih tidur. Semalam dia mabuk lagi. Tapi anehnya, tadi dia masih bisa shalat Subuh. Absurd tuh sahabat kita." Deddy tertawa hambar.
"Semoga Allah memberinya petunjuk."
Deddy mengangkat bahu. Sulit memberikan petunjuk buat orang keras kepala. Orang yang keliru menjalankan agamanya. Di satu waktu, ia mabuk. Namun, setelahnya masih bisa shalat dengan khusyuk.
"Aku harus pergi. Sebentar lagi puja bakti. Aku juga mengajar Sekolah Minggu Buddhis, kan? Buset, parah anak-anak bandel itu. Susah diajarin agama."
Sejurus kemudian, ia bangkit. Menepuk pundak sahabat Muslimnya, lalu pergi. Pergi, seperti Arlita.
Alasan kedua yang membuat ia makin benci Hari Minggu. Di Hari Minggu, sahabat dan gadisnya tak ada. Di Hari Minggu, jurang perbedaan dengan sahabat dan gadisnya melebar.
Perbedaan keyakinan layaknya dua sisi mata pisau. Di satu sisi, indah dan penuh cinta. Di sisi lain, sangat menyakitkan. Mereka selalu bersama, tapi tak bisa bersatu. Kecuali ada salah satu yang harus mengalah.
Percayalah, Zaki Assegaf sangat menyayangi Deddy dan Arlita. Dia menginginkan Deddy dan Arlita bersamanya di dunia-akhirat. Tapi, mungkinkah...?
** Â Â Â
"Deddy...Arlita."
Abi Assegaf merintih dalam tidurnya. Ia memimpikan sepotong kenangan.
"Aku menginginkan kalian...kembalilah, Deddy...Arlita."
Mendengar erangan-erangan suaminya, Arlita bergegas meninggalkan balkon kamar. Ia dekati ranjang. Ia belai lembut pipi Abi Assegaf.
"Sayang...bangun. Aku di sini, Sayangku."
Pelan-pelan Abi Assegaf membuka mata. Setelah mengumpulkan nyawa, ia tersadar.
"Hanya mimpi..." gumamnya.
Arlita duduk di pinggir ranjang. "Ada apa, Sayang?"
"Aku bermimpi salah satu kenangan kita di Refrain. Waktu kau masih Katolik dan Deddy masih Buddhis."
"I see. Sudah lewat, Assegaf Sayang. Untuk apa dipikirkan?"
Kegelapan memudar. Langit biru-keemasan. Laut bergelombang. Riak-riaknya memecah pantai. Minggu pagi tiba, cerah dan indah. Tak secerah hati Abi Assegaf.
"Aku benci Hari Minggu..." desah Abi Assegaf.
"Kukira kau sudah tidak membencinya lagi." balas Arlita.
"Hari Minggu mengingatkanku pada kenangan-kenangan yang ingin kulupakan."
"Aku paham. Sudahlah. Lebih baik kaupikirkan kesehatanmu dan rencana acara keluarga beberapa hari. Kita kan harus ke hotel."
Dengan halus, Arlita menyingkirkan duri-duri tajam kenangan. Ia mengajak Abi Assegaf mengingat hal positif. Lihatlah, suami tampannya mulai tersenyum tipis.
"Iya, Arlita. Kau benar. Sebelum ke hotel, aku ingin membereskan sesuatu di Refrain."
** Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H