"Dia baik-baik saja, kan?" Deddy berujar khawatir.
"Entahlah. Tak bisa dibilang sepenuhnya baik-baik saja. Dia kelihatan aneh sekali saat kuceritakan tentang Pork Knuckle."
Mendengar itu, Deddy menggebrak meja. Benda marmer itu bergetar hebat. Disambuti teriakan ketakutan Arlita. Gawat bila meja marmer itu rusak.
"Arlita bodoh!" maki Deddy.
Kedua alis Arlita terangkat. Tengah malam begini, ada yang cari gara-gara padanya?
"Zaki itu lembut hatinya, lembut sekali. Soal perbedaan agama jadi sesuatu yang super sensitif buat dia. Kalau kamu cerita soal makanan non-halal, sama saja kamu membuka luka hatinya. Perbedaan agama itu melukai hatinya, Arlita."
Wajah Arlita memias. Hatinya tersayat-sayat perih. Demi Tuhan, demi Bunda Maria, apa yang telah dia lakukan?
"Pantas saja dia tambah sakit! Lain kali, jangan sebut-sebut apa pun tentang perbedaan agama di antara kalian!"
Terus saja Deddy menumpahkan kemarahan. Arlita menundukkan wajah. Benaknya dihantam rasa bersalah. Dengan nafas memburu, Deddy melanjutkan.
"Zaki sangat butuh kamu. Tapi, di antara kalian masih ada banyak kendala besar. Seharusnya kamu mengerti."
"Aku tahu Zaki butuh diriku. Bila aku masuk Islam..."