Doa-doa dari keyakinan berbeda sontak mengalir. Mereka yang berkulit sawo matang, berkulit putih, bermata segaris, berhidung mancung, dan bermata biru, semuanya dipersatukan oleh doa. Tuhan memang satu, cara pendekatan dan imannya saja yang berbeda.
Sedih memagut jiwa. Haru mengikat rasa. Abi Assegaf terpaku, lekat bergantian menatapi istri dan putra-putrinya. Sejurus kemudian Adica bergerak mendekat. Dipeluknya ayah keduanya itu dengan penuh kasih.
"Aku...takkan meninggalkan Abi. Aku takkan kemana-mana. Adica hanya untuk Abi Zaki Assegaf."
Di sudut sana, Tuan Effendi meneteskan air mata. Nyonya Rose menyimpan rapat sedihnya dalam diam. Calvin tak berdaya. Tiga anggota keluarga itu tak berdaya, sungguh tak berdaya. Silvi hanya bisa mendekap Calvin tanpa kata. Revan sama saja. Sungguh, sebuah pilian telah jatuh.
Bukan hati yang salah. Bukan keadaan yang salah. Takdirlah yang berbicara. Saat takdir berucap, takkan ada lagi yang kuasa membalikkan kecuali doa. Namun doa seperti apa, semua itu hanya jadi rahasia Yang Maha Cinta.
Sejurus kemudian, Abi Assegaf bangkit berdiri. Semua mata tertuju padanya. Bisikan-bisikan cemas terdengar. Abi Assegaf mulai bicara, menyampaikan sambutan tak terduga di depan tamu-tamunya.
"Beberapa waktu lalu, saya divonis menderita kanker paru-paru. Pada saat bersamaan, saya harus merawat anak saya yang melawan Granulomatosis Wegener. Kesehatan anak saya lebih penting. Saya berjuang, anak saya berjuang. Doakan agar kami kuat."
Di depan tamu undangan, Abi Assegaf menangis. Seorang pemimpin yang sabar, lembut, tangguh, dan berwibawa, terisak.
"Saya bukan manusia super, bukan manusia sempurna. Tapi saya tidak akan menyerah menjaga keluarga dan perusahaan saya. Saya berusaha tetap all out...untuk itu saya mohon doa dari hadirin sekalian."
Para tamu bertepuk tangan. Di depan mereka, Abi Assegaf bukan berbicara layaknya pemimpin perusahaan. Namun, ia bicara seperti seorang kepala keluarga. Kepala keluarga yang terus mengasihi di sisa hidupnya.
** Â Â Â