Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memarahi Anak di Depan Umum, Pantaskah?

12 Agustus 2018   06:03 Diperbarui: 12 Agustus 2018   07:16 853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekitar dua minggu lalu, Young Lady menjumpai pemandangan tidak indah. Seorang perempuan memarahi anak gadis di jalan depan rumahnya. Suaranya terdengar begitu keras. Nampaknya perempuan dan gadis yang dimarahinya itu ibu dan anak.

Begitu kerasnya suara perempuan itu sampai-sampai Young Lady tahu pokok masalahnya. Ternyata si perempuan memarahi anaknya karena persoalan biaya kuliah. Ternyata anak gadisnya disalahkan karena masuk perguruan tinggi lewat jalur mandiri. As we know, seleksi mandiri itu mahal. Anak gadis itu dianggap terlalu memaksakan, padahal orang tuanya tak mampu membayar biaya kuliah yang ditetapkan.

Perhatian orang-orang teralih. Seketika mereka menatap perempuan dan anak gadis itu. Suara sang ibu mengundang rasa ingin tahu orang-orang di sekelilingnya.

Sementara itu, Young Lady shock. Rasanya hati ini berteriak tak rela. Young Lady cantik tidak bisa melihat perempuan diperlakukan kasar, baik oleh lelaki maupun perempuan. Wanita

Tidak dilahirkan untuk dikasari. Kedudukan wanita sangat mulia. Mereka berhak mendapatkan kelembutan, bukannya kekasaran. Tak sepantasnya wanita disakiti.

Seperti lagunya Calvin Jeremy, Young Lady takkan rela. Tiap kali melihat perlakuan kasar atau diperlakukan kasar, hal itu selalu membekas dalam hati.

Sulit sekali bagi Young Lady untuk melupakannya. So, Young Lady selalu takut dan benci bila menerima perlakuan kasar. Celakanya, Young Lady cantik sering menerimanya. Perlakuan kasar yang sangat menyakitkan Young Lady diterima dari lelaki biadab, selibat, dan tinggal di lingkungan rohani yang kental. Sampai kapan pun, Young Lady takkan melupakan pengusiran kasar oleh lelaki tak bertanggung jawab yang hidup dengan pembimbing rohaninya itu.

Back to focus. Menyaksikan kejadian pahit itu, Young Lady menarik dua poin. Ibu itu telah melakukan dua kesalahan. Pertama, mengungkit masalah finansial. Masalah satu itu tergolong sensitif. Kedua, memarahi anak di depan umum.

Hmmm Young Lady tak habis pikir. Mengapa masalah biaya kuliah harus dipertengkarkan? Kalau tak mampu ikut seleksi mandiri, mengapa harus memaksakan? Young Lady memang belum pernah terjebak dalam situasi seperti itu. "Calvin Wan" pernah menasihati Young Lady cantik: jangan hidup di menara gading. Mungkin nasihat semacam itu berguna untuk menilai kasus di atas.

Di satu sisi, bisa saja ada anak-anak yang beruntung dan tak perlu merisaukan biaya kuliah. Kalau tak diterima SNMPTN/SBMPTN, ikut seleksi mandiri saja biar bisa masuk perguruan tinggi negeri. Soal biaya mahal, tak apa. Selama mampu dan ada uang, apa yang perlu dikhawatirkan? Jika masih gagal juga di seleksi mandiri, cari saja perguruan tinggi swasta. Kalau perlu, buat plan B di universitas swasta untuk berjaga-jaga.

Namun, di sisi lain, ada anak-anak yang tak seberuntung itu. Jangankan untuk biaya kuliah, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sudah membingungkan. Anak-anak dari golongan ini harus memutar otak agar bisa mendapatkan kursi di universitas tanpa perlu membebani keluarga. Di samping itu, keluarga pun merasa tak mampu atau terbebani dengan persoalan biaya kuliah.

Young Lady cantik tetap saja tak habis pikir. Mengapa harus mempertengkarkan biaya kuliah di depan banyak orang? Kalau pun mau emosi, tahan dulu bisa kan? Simpan saja, seperti lagunya Ecoutes. Simpan sampai ada waktu untuk mengatur pikiran dan mengatasinya.

Rasanya masih gagal paham juga, mengapa ada keluarga yang sebegitu emosinya hanya karena biaya pendidikan. Well, apakah kemiskinan dan masalah ekonomi bisa membuat orang lain menjadi temperamental?

Anyway, memarahi anak di depan umum bukanlah tindakan bijak. Semarah apa pun orang tua, janganlah memarahi anak di depan banyak orang. Memarahi anak di depan umum sama saja mempermalukan mereka. Secara tidak langsung, orang tua membocorkan kesalahan anak mereka pada banyak orang. 

Memang benar bahwa bila anak melakukan kesalahan, ia harus diberi tahu. Tetapi, jangan sampai orang lain tahu kesalahan anak. Kelebihan anak dibanggakan, kekurangannya ditutupi. Memarahi anak di depan umum sama artinya dengan melanggar privasi mereka, membeberkan aib/hal negatif tentang mereka pada orang lain, dan merusak image mereka. Terlebih, bila orang tua memarahi anak di depan teman-teman dan pasangannya.

Anak akan sakit hati saat dimarahi di depan umum. Tak hanya itu, mereka juga akan malu. Bisa-bisa si anak merasa underestimate dan menghindari berada di lingkungan yang sama dengan tempat mereka dimarahi. Dampak lainnya, si anak akan merasa takut. Takut berbuat salah, takut hal serupa terulang lagi.

Sebisa mungkin, tahan diri jika ingin memarahi anak. Cari ruang private, lalu ingatkan anak tentang kesalahannya. Usahakan agar tidak ada orang lain yang mendengar, melihat, dan mengetahuinya. Selesaikan saja urusan kesalahan itu hanya dengan si anak. Melibatkan lebih banyak orang hanya akan membuat anak merasa malu sebab kesalahannya diketahui banyak orang. 

Jangan permalukan anak, jangan membuatnya stress dan tertekan. Ingatlah bahwa anak juga punya citra, punya image yang harus dijaga. Selama ini kita hanya sering mendengar, anak harus menjaga nama baik keluarga. Anak jangan membuat malu keluarga. Begitu pun sebaliknya. Keluarga juga tidak boleh mempermalukan anak. Boleh menceritakan atau membuat orang lain tahu tentang anak, tetapi ceritakan hal-hal positifnya saja. Jangan ceritakan kekurangan dan kesalahannya.

Kompasianers, pernahkah kalian mengalami atau melihat situasi seperti ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun