Hidup adalah serangkaian pilihan. Termasuk di antaranya pilihan untuk menikah atau tidak. Menikah ya syukur, tidak menikah juga tidak apa-apa. Semuanya kan pilihan.
Ketika sudah memilih untuk menikah, masih banyak lagi pilihan-pilihan di depan kita. Mau menikah dengan siapa? Bagaimana konsep pernikahannya? Setelah menikah, apa rencana ke depan? Lagi-lagi, kita dihadapkan pada banyak pilihan.
Kalau boleh, Young Lady cantik mau pinjam istilah dari lagunya Tulus: teman hidup. Menikah sama saja memilih teman hidup. Eits, bukan teman biasa ya. Tapi teman hidup, teman untuk menjalani sisa hidup. Teman untuk merenda masa depan, menata hidup, menghabiskan hari tua hingga maut memisahkan.
Setelah menemukan teman hidup yang tepat, saatnya mengajak menikah. Ajakan telah disambut positif. Wait, wait. Sebelum melangkah ke pelaminan, coba tanyakan dulu satu hal ini pada teman hidup kalian. Ya, satu hal. Cukup satu hal saja.
"Apa kau akan tetap bersamaku meski aku divonis infertilitas?"
Ya, that's all. Sesimple itu pertanyaannya. Tapi percayalah, itu pertanyaan yang sangat penting.
Bukan bermaksud mendoakan keburukan. Hanya berjaga-jaga, mempersiapkan diri atas kemungkinan terburuk. Bukankah hidup tak selamanya mulus?
Dari pertanyaan sederhana itu, akan terangkai benang-benang lain. Satu sama lain bisa saling merenungi apa tujuan mereka menikah. Hanya untuk meneruskan keturunankah? Hanya untuk memuaskan kebutuhan biologiskah? Hanya untuk memenuhi harapan orang tua dan status sosialkah? Atau tulus karena cinta?
Mungkin sekilas terdengar bodoh. Kebanyakan orang bertanya masa lalu, penghasilan, latar belakang keluarga, dan restu sebelum menikah. Jarang yang terpikirkan untuk menanyakan kemungkinan buruk yang bisa terjadi bila lembaran baru telah dibuka.
Pertanyaan seperti ini bisa membantu antisipasi dari awal. Antisipasi dari rasa kecewa. Lebih baik tahu dari awal dari pada tahu di akhir dan berujung penyesalan. Lebih baik sakit dan kecewa di awal dari pada di akhir. Jika tidak ingin menerima, ya hentikan. Jika bisa menerima dengan tulus, silakan teruskan.
Kompasianers yang sudah lama baca tulisan-tulisan cantik Young Lady pasti paham. Young Lady selalu antusias mengangkat topik infertilitas, khususnya infertilitas pada pria. Biasanya Young Lady tuliskan dengan cantik ke dalam bentuk cerita. Selalu saja tokoh pria yang divonis infertilitas. Sang pria yang begitu sempurna, tampan, religius, berbakat, dan kaya, ternyata dalam tubuhnya ada penyakit dan dia infertil. Biasanya karakter "Calvin Wan" yang mengambil peran ini. Well, kisah-kisah itu tidak benar-benar fiktif or semi realis. Itu karena Young Lady berhadapan dengan kenyataan. Young Lady ingin menghapus stereotip. Selama ini, wanitalah yang sering disalahkan. Kenyataannya, banyak pria juga sakit dan bermasalah. Munafik bila kesalahan mengenai keturunan dilimpahkan sepenuhnya pada wanita.
Banyak orang menikah hanya karena ingin meneruskan keturunan. Nah, bagaimana bila teman hidup yang dinikahinya infertil? Tidakkah akan berujung saling mengecewakan dan menyakiti? Ujung-ujungnya pasti perpisahan lagi. Kalau wanita, dipoligami. Kalau pria, diceraikan atau si wanita mencari donor sperma. Infertilitas seakan menjadi pembenaran mutlak untuk bercerai atau menambah istri.
Demi mengurangi risiko, cobalah tanyakan pada teman hidup kalian. Lihat reaksinya. Akan terlihat tulus-tidaknya dia dalam mencintai. Dari sana, akan kelihatan apakah ia sungguh-sungguh mencintai atau hanya menginginkan hal tertentu. Satu pertanyaan itu pun akan mengungkap tujuan pernikahan yang sebenarnya.
Jika luka batin karena cinta bisa dicegah dari awal, mengapa tidak? Kompasianers, bagaimana bila kalian yang merasakan vonis semacam itu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H