Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berdialog dengan Tokoh Fiksi, Indahnya Vonis Infertilitas (Bagian 1)

19 Juli 2018   06:00 Diperbarui: 19 Juli 2018   08:11 548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aku masih di sini..."

Eits, potongan kalimat itu bukan sekadar lirik lagu. Tapi representatif juga kok buat Young Lady cantik dan eksistensi "Calvin Wan". Something historical for me. Bulan Juli adalah tepat setahunnya kehadiran "Calvin Wan" di Kompasiana. Wow tidak terasa ya.

So, Juli adalah satu dari beberapa bulan spesial buat Young Lady. Sebab "Calvin Wan" ini tidak benar-benar fiktif. Melainkan terinspirasi di balik sosok dalam kehidupan nyata. Makanya lebih mudah berdialog dengannya secara lifetime. Sosok inspirasinya benar-benar ada, dan bisa Young Lady ajak bicara tentang ilmu kehidupan.

Meski demikian, Young Lady juga tak keberatan membuka ruang imajinasi seluas-luasnya untuk berdialog imajiner dengan "Calvin Wan". Terkadang apa yang tersampaikan bisa lebih bebas dan leluasa dalam dialog imajiner. Menciptakan suasana nyaman di hati, mengawali proses kreatif, lalu memunculkan sosok Young Lady dan tokoh fiksi nan inspiratif. Jika semuanya telah siap, barulah dialog imajiner dengan tokoh fiksi bisa dimulai.

"Apa yang kaupikirkan tentang infertilitas?" tanya Young Lady serius. Menatap kedua mata sipit Calvin lurus-lurus.

"Ujian dan anugerah." jawab Calvin tenang.

Spontan mata biru pucat Young Lady melebar tak percaya. Bisa-bisanya vonis infertilitas dianggap ujian sekaligus anugerah.

"Are you sure?" Young Lady setengah tak percaya.

"Yups. Ujian yang bisa disikapi dengan anugerah." Calvin tersenyum menawan saat mengatakannya.

"Tidakkah hatimu hancur saat vonis itu jatuh padamu?"

"Tentu saja. Aku sedih sekali saat pertama kali mengetahuinya. Kurasakan rumahku begitu sepi tanpa kehangatan dan keceriaan seorang anak. Di depan eluarga istriku, aku selalu disalahkan. Mereka menatapku jijik, seolah aku aib paling memalukan dalam keluarga. Kusesali diriku sendiri yang harus sakit dan akhirnya merasakan apa yang paling ditakutkan seorang pria. Seiring berjalannya waktu, kusadari sesuatu. Aku harus bangkit. Caraku bangkit adalah memandang vonis ini dari kacamata berbeda."

Kedua alis cantik ini terangkat. Kacamata berbeda? Apa maksudnya itu?

"Kuanggap ini adalah anugerah. Anugerah bahwa aku masih diberi kesempatan untuk menjadi ayah dari anak-anak terlantar dan terbuang lainnya. Meski anak itu tak ada ikatan biologis denganku. Ada kalanya anak tidak lahir dari ikatan darah, tetapi lahir dari hati."

Hati Young Lady bergetar mendengar ucapan yang begitu bijak. Di samping Young Lady, Calvin tetap tersenyum. Sesekali membetulkan kerah jas hitamnya.

"Tegar sekali ya, malaikat tampan bermata sipitku ini. Bagaimana rasanya menjadi ayah angkat?"

"Sangat bahagia. Bagiku, tak ada istilah anak angkat. Anak angkatku juga darah dagingku, permata hatiku. Hanya saja ia lahir dari hati, lahir dari cinta yang tulus di dalam hati."

"Apa yang kaurasakan saat melihat pria-pria seusiamu rata-rata sudah memiliki anak?"

"Biasa saja dan tetap bersyukur. Karena aku sendiri juga sudah memiliki anak. Walau cara mendapatkannya berbeda dari mereka."

"Bagaimana sikap istrimu selama mendampingi suami infertil sepertimu?"

"Di mataku, dia wanita salih. Wanita lembut, setia, penyabar, dan tulus. Jika tak tulus, mana mungkin dia mau bertahan dengan suami infertil? Dengan kondisiku, dia masih bisa bahagia. Keluarganya membenciku, tapi dia tetap mencintaiku. Bertahun-tahun hidup bersama, tak pernah sekali pun ia minta cerai atau berselingkuh demi mendapatkan anak."

"Apa yang pertama kali kaulakukan saat divonis infertilitas?"

"Mengucap 'Innalillahi wa inna ilaihi raji'un' sambil menggenggam tangan istriku."

Sejurus kemudian, Calvin meneruskan lagi perkataannya.

"Aku justru bersyukur dengan kasusku. Kasusku ini bisa membalikkan stereotip bahwa infertilitas hanya kesalahan wanita. Toh buktinya, pria juga mengalami risiko yang sama. Kuharap kasusku bisa menjadi pelajaran bagi keluarga-keluarga lainnya, bahwa tak hanya wanita yang bisa salah. Membalikkan stereotip sangat sulit. Hanya realita yang dapat membuka mata."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun