Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Melodi Silvi 2] Prolog

6 Juli 2018   05:50 Diperbarui: 6 Juli 2018   06:18 684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ingin rasanya Calvin melepas piyama rumah sakit ini. Membuangnya jauh-jauh, tak pernah memakainya lagi. Ia muak pada pakaian yang melekat di tubuh atletisnya.

Masih terekam jelas suara-suara bernada geli dari dua perawat di ruang kemoterapi. Mereka memanfaatkan kesempatan, mencuri-curi pandang ke arah tubuh dan wajahnya yang memang ketampanannya di atas rata-rata. Dua perawat itu berkomentar.

"Hmmmm ada ya, pasien kanker seganteng ini. Badannya masih bagus lagi. Sama sekali nggak kayak orang sakit."

"Iya. Nggak heran sih, kan orang kaya. Bisalah perawatan sana-sini."

"Coba aja semua pasien kanker seganteng ini ya. Kita disuguhi pemandangan indah terus."

Jika tidak lupa image dan ilmu sabar, Calvin akan melompat dari ranjang dan menarik lepas kunciran rambut dua suster imut itu agar mereka diam. Siapa pula yang mau terkena penyakit laknat ini? Penyakit yang mengharuskan penyintasnya bolak-balik ke rumah sakit untuk mengikuti rangkaian kemoterapi.

Buru-buru ayah angkat Silvi itu beristighfar. Tidak baik menyesali keadaan. Kanker juga bagian dari karuniaNya. Tak perlu disesali. Cukup disyukuri saja.

Baru kali ini Calvin menyesali kondisi tubuhnya. Tak seharusnya ia berpikiran begitu. Ini hanya kanker ginjal. Masih ada peluang untuk sembuh. Kalaupun tak sembuh di tanah air, dengan mudah Calvin bisa mencari penyembuhan di luar negeri kapan saja. Akan selalu ada harapan. Sabar, hanya itu yang diperlukan kini.

Jarum suntik berkilat tajam. Menusuk tepat ke lengan. Calvin refleks merintih kesakitan. Sakit, sungguh rasanya sakit.

Mengapa sakit ini semakin hebat? Mengapa sakit ini tak pergi saja? Tanpa sadar Calvin berteriak kesakitan. Ia tak pernah lupa, kemoterapi rasanya sesakit ini.

Lebih sakit lagi, dia harus menjalaninya sendirian. Ya, sendirian. Calvin tak ditemani siapa pun hari ini. Semua orang tak peduli padanya. Tidak ada lagi yang mencintainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun