"Silviiiii! Tuh malaikat tampan bermata sipitmu datang!"
Nyaris saja si gadis bergaun putih terpeleset dari anak tangga. Kalau jatuh, bisa gawat. Minimal gegar otak, maksimal masuk ICU. Bagaimana bisa dia datang? Bukankah Silvi tak memberi tahunya soal ini?
"Ayo, ntar ditungguin lho. Keburu disambut your Mom yang over protektif. Aduh, mana pakai bawa bunga lily lagi. Romantis parah...dan jelas kaya. Buket bunga kan mahal."
Kaki Silvi serasa digantungi barbel ketika berjalan ke ruang tamu. Jantungnya berdetak lebih cepat. Di dekat pintu, berdirilah sosok itu. Sosok tampan yang sangat dirindukannya. Benar saja, di tangannya tergenggam sebuket lily putih. Seputih warna jas yang dikenakannya.
Putih, Silvi tersentak. Tidak, tidak mungkin. Mengapa pakaian mereka bisa sewarna? Seakan telah saling berjanji.
"Calvin? Kok kamu tahu aku ada acara hari ini?" sapa Silvi setengah gugup.
Seraya memberikan buket bunga ke tangan Silvi, Calvin menjawab. "Tahulah. Kan aku pianis yang mengiringi kamu nanti."
Sepasang mata hijau itu melebar tak percaya. Kemudian bertemu pandang dengan sepasang mata sipit bening yang meneduhkan. Tergetar hati Silvi mendengarnya. Tak terbayangkan betapa nervousnya ia nanti.
** Â Â Â
Chevrolet hitam itu melaju cepat di ruas jalan tol. Calvin berkonsentrasi mengemudikan mobilnya. Meski demikian, bayangan kesedihan tak dapat tertutupi. Ada sedih yang membayang. Ada luka yang tertoreh.
"Hei, are you ok?" usik Silvi lembut. Disentuhnya lengan Calvin.