Calvin menghela nafas berat. "Corry, kremasi adalah pilihan terbaik."
"Tidak. Yang berhak menyentuhkan bara api ke tubuh manusia hanyalah Allah SWT. Kremasi sama sekali tidak menghormati mayat. Kehormatan dan kemuliaan manusia harus dijaga, baik saat ia masih hidup maupun sudah meninggal. Aku tidak rela suamiku yang tampan harus terbakar saat Allah memanggilnya."
Mata Calvin berkaca-kaca. Calvin menangis, hidungnya berdarah. Sejurus kemudian Corry merengkuhnya erat. Ia rasakan betapa kurus tubuh suami super tampannya. Ia tatapi kepucatan wajahnya. Seakan hidup Calvin tanpa harapan lagi.
"Aku tetap ingin kremasi." Calvin bergumam lirih.
Detik berikutnya Calvin terbatuk. Darah segar mengalir dari sudut bibir dan hidungnya.
** Â Â Â
Itulah malam terakhir Corry berbicara dengan Calvin. Setelah perdebatan mereka, kondisi Calvin memburuk. Pengusaha retail kelahiran 9 Desember itu koma.
Tak pernah henti Corry mendaraskan doa. Hanya dua permintaannya: kesembuhan Calvin dan keterbukaan pintu hatinya. Di setiap doanya, di tiap sujudnya, dalam air mata, Corry memohon Sang Maha Cinta untuk membuka pintu hati Calvin.
"Ya Allah yang Maha Cinta, aku ikhlas bila Kau tidak memilih Calvin sebagai hamba pilihanMu.. Tapi kumohon ya Allah, bukakanlah hatinya untuk tidak dikremasi. Sungguh aku tak tega melihat pria yang kucintai harus terbakar di akhir hidupnya. Aku mencintai Calvin, Ya Rabb. Aku ingin memuliakannya, selama ia hidup dan saat ia meninggal nanti." Begitulah doa Corry di setiap sujudnya.
Diam-diam Corry membatalkan semua janji yang telah dibuat Calvin dengan pihak krematorium. Diam-diam pula ia memesan dua buah makam di Mercy Mansion San Diego Hills. Satu untuk Calvin, satu untuk dirinya.
Tim dokter angkat tangan. Corry pasrah. Ia akan turuti apa pun permintaan Calvin selain kremasi. Sampai akhirnya, tibalah malam terhening di ujung Ramadan itu.