Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Fiksi Islami

Calvin,Aku Mencintaimu Karena Allah

30 Mei 2018   04:50 Diperbarui: 30 Mei 2018   07:09 1450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Apa yang kaubawa, pria bodoh?!" teriak Silvi jijik melihat ke samping kanan Calvin.

Bukannya tersinggung, Calvin tersenyum menawan. Senyumnya tak meredakan kegusaran Silvi. Istrinya justru mengentakkan kakinya ke lantai marmer dan berteriak sekali lagi. Sangat tak rela melihat sesuatu yang kumal dan kotor menodai rumah mewahnya.

"Dia kutemukan di depan supermarket, Silvi. Alif Sayang, ayo salaman sama Tante cantik."

Sesosok anak lelaki enam tahun berpakaian lusuh pelan-pelan mendekat. Ragu mengulurkan tangannya yang kotor dan berkuku hitam. Silvi refleks melangkah mundur, ekspresinya jijik.

"Silvi, please..." bujuk Calvin.

"Nope! Singkirkan dia dari sini! Singkirkan!"

Alif gemetar ketakutan. Perlahan menurunkan tangannya. Tak tega melihat raut wajah polos itu, Calvin memeluknya. Lembut menghibur Alif.

"Calvin! Jangan peluk anak itu! Jasmu bisa kotor!" Silvi menjerit ketakutan, gemas bercampur marah melihat suami super tampannya memeluk anak sekotor itu.

"Tidak apa-apa, Silvi. Harusnya kamu senang. Kan kamu ingin punya anak."

"Iya, aku ingin punya anak! Tapi bukan anak seperti itu! Dan aku ingin melahirkan anakmu!"

Tanpa sadar, bagian bawah suite hitam mahal itu tersingkap. Bekas jahitan operasi di perut Calvin sedikit terlihat. Tersenyum sedih, Calvin berujar.

"Suamimu ini sakit dan infertil, Silvi. Mana mungkin kau punya anak dariku?"

Menghempas nafas lelah, wanita blasteran Jawa-Belanda-Turki itu menyerah. Ia takkan memperpanjang perkara kalau Calvin sudah bicara begitu.

"Sudahlah. Satu jam lagi waktu berbuka. Minta pelayan kita menyiapkan makanan. Aku mau urus Alif dulu." Setelah berkata begitu, Calvin maju dua langkah dan mencium kening Silvi. Lalu menuntun Alif ke lantai atas.

Sesaat Silvi masih berdiri di tempatnya. Mata biru pucatnya menatap hampa langit sore berlapis awan Cirrus. Mau tak mau hatinya diselubungi keharuan. Calvin Wan, suami super tampannya, selalu dermawan. Selalu sabar, lembut, dan penyayang.

**      

Bibir kanak-kanak itu membuka lebar. Takjub menatapi kamar tidur mewah berkarpet tebal. Menghirup dalam-dalam sejuknya pendingin ruangan bercampur wangi bunga lavender. Terpesona menatapi ranjang king size, televisi plasma, seperangkat komputer, dan grand piano. Ini kamar termewah yang pernah dimasukinya.

Sepasang tangan kokoh dan hangat membimbing langkahnya. Kali ini Alif dibawa masuk ke sebuah ruangan putih bersih yang dipenuhi desis blower. Putih, dimana-mana putih. Shower, bathtub, bathrobe, dan wastafel semuanya putih. Wangi jasmine merasuk lembut indera penciuman. Dalam hati Alif bertanya-tanya. Mengapa semua ruangan di rumah ini wangi?

Momen detik berikutnya takkan disangka publik yang mengenalnya. Calvin Wan, sang pengusaha retail dan kontributor media jurnalisme warga ternama itu, memandikan anak pemulung yatim-piatu yang ditemukannya. Ya, Calvin sendiri yang melakukannya. Bisa saja ia menyuruh satu dari enam asisten rumah tangga yang bekerja di rumahnya. Namun ia putuskan memandikan Alif sendiri.

Setelah itu, Calvin memakaikan Alif longsleeve. Alif terpana menatapi pakaian yang melekat di tubuhnya. Calvin tersenyum kecil, pelan membelai rambutnya.

"Om Ganteng, baju ini pasti mahal."

"Nggak juga. Ini buat Alif. Yang itu juga." Calvin menunjuk setumpuk baju anak-anak yang tertata rapi di tempat tidur. Semuanya branded.

Mata Alif berbinar bahagia. Dua pasang mata bertemu. Sepasang mata coklat nan polos anak kecil, dan sepasang mata sipit bening yang menawan. Calvin menggandeng tangan Alif ke lantai bawah. Silvi telah menunggu. Raut wajahnya melembut.

Tanpa bertanya pun, Silvi tahu Calvinlah yang membersihkan tubuh Alif. Percik kekaguman menetesi jiwa. Suaminya memang tipikal hot daddy.

Kekaguman Silvi belum apa-apa dibandingkan Alif. Ia terbelalak melihat set lengkap menu masakan yang tersusun rapi di meja makan. Dilihatnya pula sekotak susu impiannya tergeletak manis.

"Om Ganteng, Tante cantik, Alif boleh buka puasa pakai itu?" tunjuk Alif ke arah sekotak susu impiannya.

"Boleh, Sayang. Semuanya boleh buat Alif." jawab Calvin tulus.

"Yeaaaaay!" Alif bersorak kegirangan, tak sabar menunggu waktu berbuka tiba.

Yang ditunggu Alif datang juga. Impiannya terwujud. Ia berbuka puasa dengan sekotak susu impiannya. Melihat kepolosan Alif, hati Calvin tersentuh. Walau nampak tak peduli, Silvi ikut trenyuh. Dengan sikap fatherly, Calvin mengajari Alif doa berbuka puasa. Dia membantu anak 6 tahun itu memotong daging di piringnya. Lembut dituangkannya susu ke gelas Alif saat anak itu minta tambah lagi.

Nyaris saja mata biru pucat itu menghamburkan kristal bening. Sungguh, Silvi terharu melihat kebaikan suaminya. Ia tak salah pilih. Calvin tampan luar-dalam.

**       

Ada cinta yang sejati

Ada sayang yang abadi

Walau kau masih memikirkannya

Aku masih berharap kau milikku (Isyana Sarasvati-Masih Berharap).

**      

Smartphone berlogo apel tergigit itu ia letakkan di meja. Silvi menatap Calvin lekat, lalu berkata dingin. "Tadi orang dari yayasan itu mencarimu. Mereka bertanya tentang dana kasih, biaya pencetakan buku parita, dan donasi perbaikan vihara. Memangnya kau berjanji apa?"

"Aku membantu mereka, Silvi."

Mendengar itu, bibir Silvi melengkung dalam senyuman sinis. Calvin memandangnya lembut.

"Memangnya tidak boleh ya, membantu umat agama lain? Kalau aku salah, aku minta maaf."

Lihatlah, kurang baik apa Calvin? Tidak salah pun mau minta maaf. Tangan Silvi terkepal di punggung kursinya.

"Sampai kapan kamu mau membantu agama lain, sementara agamamu..."

"Sudah kudonasikan dana pembangunan masjid dan pesantren, Silvi. Jumlahnya tiga kali lipat dari sumbangan untuk vihara."

Silvi terperangah. Ternyata Calvin tetap peduli. Bahkan lebih peduli. Menghela nafas sesaat, Calvin berujar.

"Mungkin aku selalu salah di matamu. Apa yang kulakukan tak pernah berarti. Tapi aku sangat mencintaimu, Silvi. Aku selalu berharap kamu akan mencintaiku juga suatu saat nanti."

Mata sipit dan mata biru beradu pandang. Perlahan Calvin melepas tatapannya. Pria berdarah Tionghoa kelahiran 9 Desember itu bangkit dari sofa.

"Aku harus menidurkan Alif." Calvin mendaratkan kecupan hangat di pipi Silvi, mengusap rambut panjangnya.

Dalam kebekuan, Silvi dapat mendengar derap kaki suaminya menaiki anak tangga. Kecamuk rasa mengaduk-aduk hatinya. Kagum, sedih, terharu, dan bahagia.

Benaknya terusik. Tak didengarnya lagi bunyi langkah kaki Calvin. Ganjil, bukankah tadi suaminya baru saja naik di pertengahan tangga? Tidak, pasti ada yang tidak beres.

Sejurus kemudian Silvi bergegas ke kaki tangga. Hatinya disergap ketakutan melihat tubuh tinggi semampai itu limbung nyaris jatuh. Ya Allah, ia tak tega. Desakan rasa cinta mendorong jauh-jauh egonya. Silvi menyusul menaiki tiga anak tangga, lembut meletakkan tangannya di punggung Calvin.

"Calvin, are you ok?" desah Silvi, lembut dan khawatir.

Debar ketakutan memukul-mukul jantung Silvi saat Calvin berbalik. Wajah blogger dan pengusaha tampan itu sangat pucat. Darah segar mengalir dari hidungnya.

"Aku mencemaskan kondisimu, Calvin." Silvi bergumam tanpa sadar.

Tak tahukah Silvi? Calvin selalu begini tiap kali Silvi menyakitinya. Darah itu salah satunya.

Lengan Silvi melingkar erat ke leher Calvin. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Silvi memeluk Calvin. Air mata membasahi pipi wanita cantik itu. Bibirnya bergetar hebat. Egonya dirobek-robek oleh cinta.

"Calvin...aku mencintaimu kaarena Allah."

**       


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Fiksi Islami Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun