Dinda menyapu air matanya. Berterima kasih pada Adica. Pelan menutup teleponnya. Lalu beranjak menuruni tangga.
"Pagi, Sayang. Matamu kenapa?" sapa Calvin. Mengecup hangat pipi istrinya.
"Oh tidak apa-apa. Mungkin hanya iritasi." Dinda mengelak, berusaha menyembunyikan perasaannya.
Mereka duduk bersisian di depan meja makan mewah itu. Menikmati strawberry pancake. Sarapan bersama sebelum memulai aktivitas, hal yang sudah biasa mereka lakukan.
"Kamu yakin tetap fashion show? Di luar masih rawan..." Calvin memastikan. Sukses membuat Dinda tertawa kecil. "Sudah hampir dua puluh kali kautanyakan hal yang sama, Calvin. Aku akan tetap fashion show. Kontrak harus diselesaikan. Insya Allah takkan terjadi apa-apa. Aku kan bukan termasuk orang yang diburu massa. Justru aku mencemaskan keselamatanmu."
Seulas senyum tipis menghiasi wajah Calvin. Dibelainya tangan Dinda dengan lembut.
"Aku bisa menjaga diri, Dinda."
Setelah sarapan, mereka melangkah ke pintu utama. Dua mobil telah terparkir di halaman depan. Satu Porche 911, satu lagi Nissan X-Trail. Di depan pintu, langkah mereka terhenti. Keduanya saling tatap. Seolah begitu enggan untuk berpisah.
"Maaf, aku tak bisa menemanimu fashion show kali ini." Calvin lembut meminta maaf.
"No problem. Anak-anak itu lebih penting. Salam untuk mereka." Dinda berkata menenangkan.
Arus kuat kerinduan mengguncang hati Calvin. Entah, ia begitu merindukan Dinda. Padahal model cantik yang masih punya darah bangsawan itu ada di dekatnya. Merindukan seseorang yang berada sangat dekat dengan kita, apakah ini semacam pertanda? Ya Allah, ada apa ini?