Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membuat Diri Terbiasa Disakiti, Kebodohan atau Kegilaan?

17 Maret 2018   06:10 Diperbarui: 17 Maret 2018   15:04 1398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Silvi tak habis pikir dengan jalan pikiran ayahnya. Ayahnya, seorang single parent tampan dan tangguh, pengusaha sukses dan kaya-raya, rela disakiti terus-menerus oleh wanita. Sebagai putri semata wayang, Silvi tak rela melihat ayahnya terus tersakiti.

Ia pun menyuruh sang ayah mundur teratur. Silvi melarang ayahnya untuk mencintai wanita yang tak henti melukai hatinya. Ayahnya tak bergeming. Ia tetap mencintai wanita itu. Seburuk apa pun perlakuan wanita itu terhadap dirinya.

Marah bercampur sedih, Silvi menanyai ayahnya. Mengapa ayahnya begitu ikhlas disakiti? Jawabannya sangat mengagetkan: kata ayahnya, ia sudah terlalu biasa disakiti.

Sama seperti ilustrasi di atas, Young Lady juga heran. Memendam tanda tanya dalam hati. Adakah orang yang membuat dirinya, men-set dirinya, agar terbiasa disakiti?

Tidak ada yang mau disakiti. Semua orang menginginkan kebahagiaan dalam hidupnya. Lalu, bila ada yang mengatur dirinya agar terbiasa disakiti, apakah itu tanda kebodohan atau kegilaan?

Situasi, kondisi, dan takdirlah yang membuat manusia pada akhirnya disakiti oleh sesamanya atau oleh makhluk lain. Tak ada yang menginginkannya. Logikanya begini: adakah yang bersedia, dengan ikhlas dan rela, menyediakan dirinya untuk disakiti?

Tidak, tidak ada. Naif bila ada yang mengatakan ikhlas ketika disakiti. Mungkin hati bisa memaafkan, tapi sulit untuk melupakan. Ada resistensinya juga, kan? Resistensi pada luka, dosis kesakitan, dan hal-hal yang bisa menimbulkan rasa sakit.

Lalu, bagaimana bila disakiti orang yang dicintai? Naifkah bila mengatakan ikhlas dan terbiasa disakiti?

Young Lady cantik mengalaminya sendiri. Bukan, bukan Young Lady yang disakiti. Saat untuk disakiti sudah lewat. Lelah menjadi wanita baik dan pasrah yang terus disakiti lelaki. Kini, gantian Young Lady menyakiti seorang pria.

Pria yang kabarnya bersedia menyisihkan sedikit waktu setiap harinya untuk membacakan sebuah buku untuk Young Lady cantik. Sudah hari ke50 ia membacakan buku itu. Tak sekadar membacakan. Bila dianalogikan dalam fiksi-fiksi cantik Young Lady di Kompasiana, ia layaknya "Calvin Wan" yang sering kali tersakiti dan dilukai.

Nah, si "Calvin Wan" ini menjadi korban pelampiasan Young Lady. Sasaran dari pelampiasan rasa sakit akibat cerita kelam di masa lalu. Inilah akibatnya bila berhubungan dengan wanita produk masa lalu yang tidak bahagia. Sebuah risiko.

Menusuk-nusuk hatinya dengan jarum paling tajam menjadi kebiasaan baru Young Lady. Timbul rasa puas di dalam hati. Seakan rasa sakit di masa lalu sedikit demi sedikit mulai terbayar. Masanya wanita disakiti lelaki sudah lewat. Kini, tibalah saatnya lelaki jatuh ke kaki wanita. Jatuh dengan rasa sakit yang amat dalam.

Sedalam luka yang ditorehkan Young Lady ke hati "Calvin Wan". Susah sekali mengusirnya pergi. Alhasil menjadikannya sebagai pengisi kekosongan, pelampiasan karena tak ada pilihan lain, jadi sah-sah saja. Menggores luka yang semakin dalam.

Disakiti berkali-kali tak lagi jadi soal. Mengapa? Sebab sudah terlalu terbiasa. Begitulah jawabannya. Membuat Young Lady kaget. Eits, ekspresi kagetnya tetap cantik ya.

Sepertinya "Calvin Wan" mengikuti kata Isyana Sarasvati dalam salah satu lagunya, Kuterimakan. Menerima keadaan untuk disakiti berkali-kali. Membiarkan diri terbiasa menerima rasa sakit berulang-ulang. Benar-benar tipe protagonis.

Benarkah ada yang seperti itu? Benarkah ada yang rela dijadikan sebagai pengisi kekosongan, disakiti berkali-kali, karena sudah terbiasa? Adakah cara untuk membuat diri agar terbiasa disakiti?

Barangkali yang lebih tepat adalah melatih kesabaran. Melatih diri agar sabar saat disakiti berulang kali. Bukannya membiasakan diri untuk disakiti orang lain.

Sebuah hal bodoh, gila, dan naif menurut Young Lady. Ketika diri sendiri terbiasa disakiti. Cinta, nampaknya bukan alasan yang kuat untuk menjadikan seseorang rela tersakiti berulang kali.

Setiap orang berhak bahagia. Tiap orang berhak mencari kebahagiaan dan melepaskan diri dari keadaan yang membuatnya sedih. Namun, kita harus ingat satu hal. Hidup adalah pilihan. Mencintai, menyakiti, membenci, dan merelakan diri disakiti juga merupakan pilihan.

Manusia berhak memilih. Berhak menentukan nasibnya sendiri. Rela, menerima, dan terbiasa disakiti orang lain, itu pun sebuah pilihan. Bisa jadi suatu konsekuensi atas pilihannya sendiri. Jika berani memilih, beranilah menanggung risikonya.

Hati yang sakit berkali-kali, bisa mengakibatkan luka mendalam. Hati yang berdarah karena sudah terlalu sakit, membahayakan pemiliknya. Psikosomatis mungkin akibat paling dekat. Beberapa konsekuensi lainnya pun datang tanpa permisi.

Cinta itu luka. Terkadang, orang yang mencintai harus menanggung luka dan rasa sakit karena cintanya. Cinta dijadikan alasan untuk membiasakan diri disakiti berkali-kali.

Kompasianer, bagaimana tanggapan kalian tentang ayah Silvi dan "Calvin Wan"?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun