Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Spesial] Mata Pengganti, Pembuka Hati: Sepotong Hati Menanti Cinta

15 Maret 2018   18:22 Diperbarui: 15 Maret 2018   18:26 648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hati Calvin telah lama menanti. Menanti hadirnya percikan kasih dan cinta Silvi. Sedikit saja, namun tak pernah ia dapatkan.

Pernikahan hanyalah status. Nyatanya, jiwa tak menyatu dengan cinta. Hati, jiwa, dan cinta Silvi hanya tercurah untuk kariernya. Matanya telah buta. Ia tak melihat, seseorang yang mencintainya tengah menunggunya di rumah sakit. Berharap kedatangannya, berharap cintanya.

Jangan salahkan bila kondisi Calvin tak juga membaik. Hipernefroma leluasa menggerogoti tubuhnya. Bukan karena ia tak punya semangat hidup. Melainkan karena tak ada motivasi dan cinta yang mampu menguatkannya.

Sudah kedelapan puluh kalinya ia mengecek smartphonenya. Meletakkannya kembali ke meja di samping tempat tidur, hatinya berselimut kecewa. Kecewa yang amat dalam. Tak satu pun e-mail, chat, atau sekadar like dan comment Silvi di sosial media/blognya. Jangankan kehadiran secara virtual, kehadiran di dunia nyata pun tak ada.

Sampai kapankah ia berharap? Pria tampan berwajah oriental itu menatap hampa langit-langit paviliun rumah sakit. Ap gunanya segala kemewahan ini bila tanpa cinta? Apa gunanya pernikahan bila bukan atas nama cinta?

Menyesalkah ia menikahi Silvi? Nyatanya tidak. Seburuk apa pun perlakuan Silvi, Calvin tetap mencintainya. Calvin selalu mencintai Silvi sepenuh hati.

"Silvi...I miss you." bisik Calvin, memandangi foto-foto Silvi. Betapa ia merindukan pemilik wajah cantik itu. Betapa ia rindu sepasang mata biru pucat itu. Calvin rindu, sangat rindu.

**     

Tak tahan dengan kesepiannya, Calvin nekat bangun dari ranjang. Ia meninggalkan paviliun super mewah itu, lalu berjalan-jalan di koridor rumah sakit. Bermacam suara ia dengar. Jerit kesakitan, tangisan, ratapan, muntahan, hingga hardik kemarahan. Awalnya menakutkan, tapi ia telah terbiasa. Jangan pernah takut datang ke rumah sakit. Bangunan serba putih ini sesungguhnya menawarkan cinta. Cinta pada orang sakit, cinta kasih pada orang yang meninggal, kesabaran tak bertepi bagi para keluarga pasien, dan pengabdian tulus yang dijalani tim medis. Sungguh, rumah sakit adalah universitas kehidupan yang memberikan pelajaran tentang cinta kasih.

Berjalan dan terus berjalan, Calvin sesekali berpapasan dengan paramedis. Mereka menyapanya, tersenyum ramah. Seakan sudah lama saling kenal. Sering keluar-masuk rumah sakit membuat Calvin akrab dengan semua dokter dan suster di sini.

Tiba di koridor kelima, ia mulai lelah. Sejurus kemudian dienyakkannya tubuh di kursi. Membuka tabnya, menulis. Menulis menjadi pelariannya. Pelarian atas kesepian yang kuat menyiksa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun