Di bawah hujan, Calvin dan Syifa berpelukan. Air mata Syifa mengalir bersama air hujan. Sesaat tadi, dilihatnya kakaknya yang tampan itu berjalan tertatih menghampirinya. Lalu Syifa menabraknya, melingkarkan tangan di perutnya, dan memeluk Calvin erat.
"Kenapa kamu lakukan itu, Syifa?" tanya Calvin. Walau pelan, suaranya dapat terdengar jelas di tengah derasnya hujan.
Di sela tangis kesedihan, Syifa menjawab. "Bagaimana mungkin aku menikah sementara kakakku yang tampan dan lembut hatinya sakit parah?"
Dada Calvin sesak. Sesak oleh kesedihan. Sesak oleh penyesalan.
"Tidak usah memikirkanku, Syifa." ujar Calvin, suaranya bergetar.
Syifa menggeleng kuat. Bibirnya terkatup rapat. Bulir-bulir bening jatuh, bergabung dengan tetesan hujan yang mengambang di permukaan.
"Aku mencintai Kakak...cinta sekali. Aku tidak mungkin meninggalkan Kakak dalam kesendirian dan kesakitan. Hipernefroma tidak ringan, Kak." Syifa terisak.
Calvin berbalik menatap Syifa. Mata gadis cantik itu sendu berselimut kepedihan.
"Kalau Syifa mencintaiku, seharusnya terima saja lamaran Andy. Berbahagialah, jangan khawatirkan aku."
"Tidak, tidak bisa. Aku pilih Kak Calvin Wan dibandingkan Andy Kartanegara."
Rasa bersalah menusuk hati. Semua ini gegara dirinya. Dirinya telah menyusahkan Syifa. Menghalangi adik bungsunya untuk bahagia.