Calvin memainkan piano. Berharap resah, sedih, dan pasrahnya hilang setelah menggerakkan jemari lentiknya di atas tuts hitam-putih itu. Amat berharap gundahnya pergi.
Intro usai dimainkan. Sejurus kemudian, Calvin mulai bernyanyi.
Ada cinta yang sejati
Ada sayang yang abadi
Walau kau masih memikirkannya
Aku masih berharap kau milikku
Sejauh ku melangkah
Hatiku kamu
Sejauh aku pergi
Rinduku kamu
Masihkah hatimu aku
Meski ada hati yang lain
Ada cinta yang sejati
Ada sayang yang abadi
Walau kau masih memikirkannya
Aku masih berharap kau milikku
Andai harus terpisahkan
Mungkin inilah takdir cintaku
Ada cinta yang sejati
Ada sayang yang abadi
Walau kau masih memikirkannya
Aku masih berharap
Walau kau masih memikirkannya
Aku masih berharap kau milikku
Masih berharap kau untukku (Isyana Sarasvati-Masih Berharap ost Ayat-Ayat Cinta 2).
Meski jemari tangannya tak selincah dulu, meski daya refleknya mulai berkurang, Calvin masih bisa bermain piano dengan indah. Suaranya pun sama bagusnya. Terbukti, sel-sel kanker yang mulai menyebar ke syaraf motoriknya tak menghalanginya untuk bermain musik.
Masih bisa bersyukur lantaran dirinya menjalani perawatan intensif di paviliun rumah sakit super lengkap dan mewah. Begitu lengkapnya sampai-sampai ada piano yang notabene alat musik favoritnya di sini. Walau menjalani perawatan di rumah sakit, Calvin tetap bisa bermain piano.
Beban berat di hatinya tak berkurang sedikit pun. Semua gegara hasil pemeriksaan terakhir. Ia harus menerima kenyataan bahwa ginjal sebelah kanannya telah berhenti berfungsi. Sel-sel kanker itu sangat jahat.
Ikhlas? Entahlah. Yang jelas, kini Calvin terguncang. Kemungkinan besar ia harus lebih sering menjalani cuci darah. Hemodialisa, langkah medis yang sangat menyakitkan.
Calvin sudah tidak kuat lagi menahan sakitnya hemodialisa. Dia pernah mengalami sepsis/blood poisoning atau keracunan darah. Mungkinkah ia akan mengalaminya lagi? Kini, Calvin tak tahu harus bagaimana.
Waktu dan kondisi sudah mendesak. Siap atau tidak, Calvin mesti segera menjalani cuci darah. Kalau tidak, nanti terjadi penumpukan cairan dan racun lagi di tubuhnya. Efeknya bisa lebih berbahaya.
Pria bermata sipit tapi sangat tampan itu hanya bisa menyendiri. Terdiam, menyimpan bebannya sendiri. Tipe pria introvert sepertinya tak mudah berbagi. Terlebih membagi beban kesedihan dan kesakitan.
Dari pada harus berbagi dengan orang lain, lebih baik Calvin menyimpannya sendirian. Mencegah orang lain ikut merasakan. Biarlah, biarlah ia sendiri yang mengalaminya. Cukup dirinya saja.
Calvin menyeka sisa darah dari hidung dan sudut bibirnya. Khawatir mencengkeram jiwa. Bagaimana dengan hemodialisa? Cepat atau lambat ia akan menghadapinya.
Mungkin ia akan menghadapinya sendirian. Silvi masih menjaga jarak. Nampaknya istri cantiknya itu kecewa berat. Ia tak sekali pun mengunjungi Calvin di paviliunnya. Lebih banyak bersama Syahrena. Mengajarinya ballet dan Swan Lake.
Bukan salah Silvi sepenuhnya. Calvin memang ingin sendiri. Lebih tepatnya, ingin merasakan sakit ini sendiri. Tanpa Silvi, tanpa Syahrena, tanpa Adica, tanpa Syifa.
Beginilah rasanya jadi introvert. Hanya mampu merasakan dan menghadapi semuanya sendiri. Sulit berbagi dan terbuka dengan orang lain. Semua dirasakan sendiri, dilewati sendiri.
Lama tenggelam dalam kesendirian, Calvin meraih iPadnya. Ia mulai menulis. Menuliskan ide lamanya tentang peluang agrobisnis sebagai usaha prospektif di masa depan. Artikelnya mengalir lancar, ringan tapi berbobot seperti biasa. Calvin Wan memang blogger tampan yang aktif dan hebat. Dalam kondisi sakit pun masih bisa menulis dengan sangat bagus.
Artikelnya selesai. Posting, dan...voilet. Calvin sekali lagi menunjukkan konsistensinya. Setelah itu, ia shalat Tahajud dan memfokuskan atensinya untuk berdoa pada Illahi. Calvin berdoa meminta kekuatan. Hanya satu pintanya. Ia tidak meminta apa pun lagi malam ini. Tidak minta disembuhkan, tidak pula minta diringankan rasa sakitnya. Cukup meminta kekuatan saja.
Shalat dengan cara normal adalah ujian tersendiri. Tiap kali bergerak, punggung dan perut bagian bawahnya sakit luar biasa. Namun inilah konsekuensinya. Bukankah sudah dikatakan? Jika ingin mencintai Allah, harus siap mendapat ujian. Kini Calvin sedang menghadapi ujian yang cukup berat.
Tak sadar dirinya jika sejak tadi ada empat pasang mata yang mengawasi dari balik jendela. Empat pasang mata itu redup oleh kesedihan. Mereka sedih dan berempati pada sosok rupawan di dalam sana yang tengah merasakan sakit luar biasa dalam kesendirian.
** Â Â Â
"Kak Calvin seperti kehilangan cahaya hidupnya." desah Syifa.
"Tidak, tidak. Calvin tidak seperti itu. Ia hanya butuh sendiri." bantah Silvi.
Adica mengangkat alisnya. Wajahnya terlihat sangsi. "Lama-lama aku kecewa pada Calvin. Masa baru divonis begitu saja, dia sesedih itu? Hello...masih banyak orang yang lebih menderita dari dia!"
Wanita bermata sipit, berkulit putih, dan berpipi chubby di dekat mereka tak berkomentar apa-apa. Hanya menatap nanar ke arah jendela kaca. Wajahnya mulus tanpa ekspresi.
"Fonny, masuklah. Ketuk pintunya, tapi jangan heran kalau Calvin lama membukanya. Dia tak mungkin bisa bergerak dan berjalan dengan cepat." pinta Silvi.
Si wanita cantik menurut. Ia mengetuk pintu. Menanti lama, dengan sabar. Silvi, Adica, dan Syifa buru-buru menyingkir. Tak ingin Calvin mengetahui kehadiran mereka.
Pintu dibukakan. Mereka menyaksikan dengan sangat jelas bagaimana si wanita bermata sipit menabrak Calvin dan memeluknya. Wanita bernama Fonny Clara Firmanty itu menangis. Wajah datarnya berubah sendu.
Sedetik. Tiga detik. Lima detik. Calvin ternyata memeluk wanita cantik itu, meski ragu-ragu. Tanpa sadar, Silvi mengepalkan tangannya kuat. Silvi wanita pencemburu. Tentu tak tahan melihat suami super tampannya berpelukan dengan perempuan lain. Terlebih perempuan yang punya story dengan Calvin.
Tergolong populer, Calvin disukai banyak wanita. Beberapa di antara mereka punya cerita lain dengannya. Kini, salah satu wanita dalam cerita masa lalunya datang lagi. Tapi ia datang atas permintaan orang-orang yang mencintai Calvin setulus hati.
Ini hanya strategi. Ia datang membawa cerita sedih. Tentang rumah tangganya yang akan segera berakhir, perceraiannya, dan keputusasaannya. Calvin mengerti, sangat mengerti. Ia berempati, namun tetap menjaga jarak. Tidak emosional. Tidak terhanyut dalam kisah wanita masa lalunya.
Calvin menempatkan diri sebagai sahabat, teman curhat, problem solver, dan semacamnya. Dirinya yang sedang sakit dan tetap bertahan untuk menyimpan sakitnya sendirian, mengesampingkan ego.. Dikesampingkannya dirinya sendiri, ditenangkannya wanita yang datang dengan wajah berurai air mata padanya. Wanita pengukir masa lalu yang begitu lihai menjalankan strateginya.
Lalu, siapa yang mengusulkan strategi itu? Tak lain tak bukan Silvi. Silvi sangat mengenal Calvin luar-dalam. Ia kenali pribadi pria belahan hatinya. Si introvert yang charming dan baik hati. Justru Calvin akan mendapatkan kekuatan lebih ketika dia bisa berguna untuk orang lain. Saat ada orang lain yang membutuhkan dirinya, membutuhkan perhatian, pertolongan, dan kasihnya, ia akan menemukan kekuatan baru. Sisi lain Calvin Wan yang jarang diketahui orang lain.
Silvi tak sekadar mencintai. Ia mengenali, dengan sangat dalam. Namun kini dialah yang paling tersiksa dengan idenya sendiri. Tersiksa menahan rasa cemburu. Benar kata Vidi Aldiano dalam lagunya. Cemburu menguras hati.
** Â Â Â
https://www.youtube.com/watch?v=fp0hIhv_3Oo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H