Punya suami charming dan misterius jadi tantangan tersendiri buat Silvi. Bagaimana tidak, terkadang jalan pikiran dan rencananya tak terduga. Misalnya hari ini. Beberapa jam sebelum kepulangan putri kecil mereka dari Belitung, Calvin justru mengajak Silvi liburan berdua.
"Ya ampun Calvin...bentar lagi kan Syahrena pulang. Kalo dia cari kita gimana?" respon Silvi setengah panik. Rasanya ingin menolak ide gila ini. Pergi liburan berdua secara mendadak tanpa mengabari anak terlebih dulu.
Tersenyum kecil, Calvin mengacak pelan rambut istrinya. "Tenang saja, Silvi. Mama dan Papa akan menjaga Syahrena."
"Memangnya mereka tahu rencanamu?" tanya Silvi, alisnya terangkat.
"Ya. Mereka tahu."
Mata Silvi melebar. Unpredictable, batinnya gemas. Ini lagu lama. Calvin sengaja merencanakan sesuatu tanpa sepengetahuan dirinya, dan baru memberi tahu beberapa jam sebelum rencana terlaksana.
"Calvin Wan...mulai lagi, mulai lagi! Ah, aku tidak mau meninggalkan Syahrena begitu saja!" rajuk Silvi.
"Syahrena akan baik-baik saja, Sayang." kata Calvin meyakinkan.
"Are you sure?"
Mata teduh itu, senyuman menawan itu, Silvi luluh. Sekesal apa pun dirinya pada Calvin, tetap saja ia tak tega. Calvin Wan terlalu tampan, terlalu baik, terlalu sabar.
Setengah jam kemudian, mereka sudah duduk manis di dalam mobil yang melaju ke pinggir kota. Silvi gelisah. Sekali-dua kali memainkan smartphonenya. Lalu akhirnya mengetikkan pesan pada putrinya.
"Have a nice flight, Honey."
Dari sudut mata, Calvin mengerling Silvi. Membaca sekilas pesan yang diketikkan istrinya untuk sang putri semata wayang.
Alphard silver itu melunccur mantap menyusuri ruas jalan tol. Calvin mengemudikan mobilnya dengan santai, namun tetap hati-hati. Ia tak mungkin ngebut jika membawa Silvi bersamanya. Walau sudah mengirimkan pesan cinta pada Syahrena, ekspresi gelisah belum lenyap juga dari wajah Silvi. Wanita blasteran Sunda-Inggris itu kini gantian melirik suami super tampannya dengan resah.
"Kenapa lagi, Silvi? Hm?" tanya Calvin, sekilas jemari lentiknya memegang halus jemari tangan sang istri.
"Kenapa kita tidak pakai supir saja? Kamu menyetir ke luar kota...berbahaya sekali." desah Silvi.
Bukannya menjawab, Calvin malah menyenandungkan sebuah lagu.
"Aku...ingin berdua denganmu...tapi aku hanya melihat keresahanmu."
"Itu kan lagunya Payung Teduh. Jawab pertanyaanku, Calvin Sayang."
"Iya, itu jawabanku. Aku hanya ingin berdua denganmu."
Refleks Silvi menyandarkan kepalanya di pundak Calvin. Memejamkan mata, menikmati detik-detik kebersamaannya dengan pria belahan hati. Bahagia mengaliri hatinya, menghapus keresahan.
"My Lovely Silvi...semangat dong. Ini kan liburan kita berdua."
Perlahan-lahan, senyuman Silvi merekah. Senyum tulus pertanda bahagia. Calvin menghentikan sejenak mobilnya di tepi jalan, lalu mencium pipi Silvi.
"Good. I love it." bisiknya.
Hati Silvi meleleh.
Setengah perjalanan, mereka mengunjungi restoran favorit mereka. Memilih meja nomor sebelas. Memagut kenangan yang terukir di sana. Sebuah restoran kelas menengah ke atas bergaya vintage. View yang indah di sekelilingnya memanjakan penglihatan. Mereka rindu pada suasana seperti ini. Rasanya sudah lama sekali mereka tak datang ke sini.
"Kamu mau pesan apa? Sini kubacakan menunya," Calvin menanyai Silvi seraya meraih buku menu. Membacakan menunya untuk Silvi.
Tidak ada yang berubah, sungguh tidak ada. Perlakuan Calvin sama baik dan lembutnya seperti sebelumnya. Tak jauh berbeda dengan keluarga intinya. Sangat mengerti tentang Silvi. Tak keberatan membacakan daftar menu yang panjang itu, sampai akhirnya memilih mana yang disukainya.
Menikmati kelezatan masakan di restoran ini, ditemani bunyi gemericik air mancur dari halamannya, dan merasakan suasana romantisnya. Sungguh sempurna. Memiliki suami super tampan yang saleh, charming, dan pengertian adalah anugerah tak ternilai. Silvi sangat mensyukurinya. Dirinya hanyalah wanita kesepian dan tak sempurna, lalu Allah memberinya pendamping hidup yang tampan luar-dalam. Tidakkah dunia itu adil?
Ketika Silvi tak sengaja memecahkan gelas, Calvin tak marah. Walau tatapan mata para pengunjung resto menghujam penuh rasa kesal dan terganggu, Calvin justru menunjukkan bahwa ia sama sekali tidak marah pada istri cantiknya. Tidak pula merasa malu.
Dengan sabar, Calvin memotongkan makanan di piring Silvi. Mengaduk Italian Chocolate untuknya. Tak henti Silvi melirik Calvin. Hati terasa diselimuti ketenangan. Tenang rasanya berada di dekat orang yang dicintai.
** Â Â Â
Kombinasi putihnya pasir dan birunya laut membuat pantai ini begitu indah. Hamparan pasir putih begitu lembut. Ombak mendesis lembut menyentuh bibir pantai. Langit di atas sana menyajikan gradasi merah keemasan yang memikat.
Sudah beberapa jam mereka di sini. Bosan dengan suasana pegunungan dan perkebunan teh, keduanya mencari suasana baru. Berusaha membunuh kebosanan dengan liburan. Liburan kali ini tak harus ke luar pulau atau ke luar negeri. Dekat-dekat saja, tapi tetap berkesan.
Bermain air, bermain pasir, dan membuat istana pasir. Sudah mereka lakukan. Selanjutnya, apa lagi? Berfoto dan pamer kemesraan di sosmed bukanlah style mereka. Calvin dan Silvi sangat jarang mengunggah foto atau pamer kemesraan di jagat maya.
"Ingat kita pernah pemotretan di sini?" tanya Calvin. Menggandeng tangan Silvi, merengkuh jemari tangan wanita itu ke dalam rengkuhan jari-jari tangannya sendiri.
"Iya, aku juga pernah shooting video clip di sini." ucap Silvi lembut.
Mereka melangkah menyusuri tepi pantai. Dunia serasa milik berdua. Berbagi keindahan pantai ini hanya berdua saja.
Silvi bahagia, sungguh bahagia. Berada di samping Calvin membuat hati diliputi kebahagiaan yang sulit terlukiskan. Calvin Wan adalah belahan hatinya. Tempatnya melabuhkan rasa.
Calvin yang tampan dan Silvi yang cantik. Keduanya beradu pandang. Sepasang mata sipit bertemu sepasang mata biru. Ketampanan bertemu kecantikan. Kelembutan bertemu kebaikan. Kesabaran bertemu ketulusan. Tionghoa bertemu Sunda-Inggris. Cinta bertemu hati. Damai bertemu resah. Energi positif bertemu energi hati. Calvin Wan bertemu Silvi Mauriska.
Keduanya saling tatap. Berusaha menyalurkan cinta ke kedalaman hati. Tanpa diduga, Calvin menghentikan langkah. Dia meraih lembut tubuh Silvi ke pelukannya. Silvi menjatuhkan diri ke pelukan pria pendamping hidupnya. Calvin dan Silvi berpelukan tepat ketika mentari terbenam dengan indahnya. Indahnya sunset masih kalah dibandingkan indahnya kasih dan cinta mereka.
** Â Â Â
Andai harus terpisahkan
Mungkin inilah takdir cintaku
Ada cinta yang sejati
Ada sayang yang abadi
Walau kau masih memikirkannya
Aku masih berharap kau milikku
Masih berharap kau untukku (Isyana Sarasvati-Masih Berharap ost Ayat-Ayat Cinta 2).
** Â Â Â
Senja berganti malam. Kini mereka berpindah dari pantai indah itu. Calvin dan Silvi menghabiskan malam di sebuah resort mewah. Serasa seperti honeymoon. Entah honeymoon keberapa.
Lelah di tubuh Silvi terobati. Ini hari kelima, hari kelima Calvin membacakan Ayat-Ayat Cinta 2 untuknya. Senang rasanya mendengarkan Calvin bercerita. Makin hari, ia makin mahir saja.
"Thanks, My Lovely Calvin." Silvi berbisik lembut selesai Calvin membacakan buku itu.
"You're wellcome."
Malam ini terasa damai. Kedamaian yang lama hilang, akhirnya kembali. Damai yang terenggut sejak Calvin didiagnosis kanker ginjal. Hari ini, segalanya berjalan sempurna. Liburan berdua yang menyenangkan. Kondisi Calvin baik-baik saja. Mereka berlibur di saat yang tepat: saat dimana Calvin sudah terbebas untuk sementara dari efek samping kemoterapi dan hemodialisa.
Belum lama mereka menikmatinya, kedamaian itu terusik oleh penanda notifikasi di ponsel pintar milik Calvin. Silvi mendesah tak kentara. Sejak tadi siang ia menonaktifkan gadgetnya. Begitulah yang ia lakukan tiap kali berada di samping orang-orang yang dicintainya. Seluruh waktu dan perhatiannya terfokus untuk mereka, bukan pada gawai.
Sesaat membaca pesan Whatsapp itu, wajah Calvin berubah suram. Dengan cepat ia mengetikkan balasannya, sungguh tak menyangka apa yang telah terjadi.
"Hei...what's the matter with you?"
"Difforce."
Satu kata terucap lirih. Calvin tak tega mengatakannya, tapi ia harus katakan. Silvi mengerutkan kening.
"Apa?"
Gundah, Calvin meletakkan kembali handphone-nya. Lalu dielusnya rambut panjang Silvi.
"Temanku bercerai dengan istrinya, Silvi."
"Innalillahi...kenapa?"
"Perbedaan agama. Sebenarnya, pernikahan mereka tidak mendapat restu keluarga wanita. Sebab temanku itu tak mau memeluk Islam. Ia berkeras tetap pada agama lamanya. So, mereka terpaksa menikah di Singapura. Temanku tetap memeluk Kong Hu Cu, istrinya juga tetap memeluk Islam. Sampai akhirnya, mereka punya anak. Mereka bingung harus mendidik anaknya dengan agama apa. Ah ini sulit, sangat sulit. Perceraian adalah jalan terbaik bagi mereka."
Silvi menutup wajah. Kaget dengan berita perceraian ini. Perceraian adalah sesuatu yang dibenci Tuhan. Agama mana pun tidak menyukai perceraian.
"Astaghfirullah...mengapa mereka harus bercerai?" gumam Silvi.
"Terkadang bercerai adalah jalan terbaik, Silvi." Calvin berkata, nada suaranya semakin lembut.
"Apa maksudmu?"
Hening. Calvin menatap Silvi dalam-dalam, menatapnya penuh cinta.
"Itu pula alasanku mengajakmu liburan, Silvi. Aku punya satu permintaan."
Detik demi detik Silvi menunggu. Hatinya gamang. Firasat buruk menyelusup di benaknya.
"Silvi, aku ingin kita bercerai."
Petir menggelegar. Di luar sana, bulan dan bintang-bintang tertutup awan kelam. Langit malam yang semula bertabur bintang kini sempurna gelap gulita. Bunyi petir menyusul cahaya kilat menggetarkan kaca-kaca jendela. Disusul hujan deras mengguyur tanpa henti.
"Calvin, kenapa...? Kenapa harus bercerai?" tanya Silvi, suaranya bergetar.
Calvin menghela nafas panjang. Memegang dagu Silvi, mengangkatnya. Mengisyaratkan wanita itu untuk menatapnya.
"Aku sudah tidak punya harapan lagi, Love. Aku hanya penderita kanker yang menunggu kematian. Dari pada kamu merasakan kehilangan yang jauh lebih sakit nantinya, lebih baik kaurasakan kehilangan sekarang. Tapi sakitnya takkan lama. Kamu akan mendapatkan penggantiku. Sudah kupilihkan mata pengganti untukmu."
"Tidak! Aku tidak mau!"
Silvi berteriak, melepaskan tangan Calvin. Ini sungguh tidak adil. Baru sebentar mereka berbahagia, baru sejenak mereka merasakan kebersamaan itu, tetiba saja harus terenggut dengan satu kata paling menyakitkan: perceraian.
"Mengertilah, Silvi. Aku ingin bercerai bukan karena tak mencintaimu lagi. Justru aku sangat mencintaimu. Ini demi kebaikanmu sendiri." ujar Calvin lembut.
"Itu bukan demi kebaikanmu! Calvin, dengarkan aku! Bercerai sama saja melanggar janji setia pada Tuhan!" hardik Silvi, sedih dan marah.
"Silvi, untuk pria sepertiku, dengan kondisiku sekarang ini, sudah tak ada lagi harapan. Waktu yang kumiliki tidak banyak lagi. Aku..."
"Kamu masih punya harapan! Dan aku masih berharap kamu milikku! Kamu untukku!"
Air mata Silvi berjatuhan. Calvin tertunduk. Ia tak bisa melihat wanita yang dicintainya menangis. Silvi menangis, ini semua karena dirinya.
"Calvin..." Silvi berucap di tengah tangisnya.
"Apakah bercerai jalan terbaik?"
Entahlah. Sesungguhnya, ini bukan jalan terbaik. Apa yang dipersatukan Tuhan, tak seharusnya dipisahkan oleh manusia. Bblogger dan peragawan super tampan yang tegar itu hancur juga. Calvin menangis, hidungnya berdarah. Air mata mengalir bersamaan dengan darah segar.
Cinta mereka tengah diuji. Bukan hanya ujian penyakit mematikan di salah satu pihak, melainkan ujian yang mengarah pada perceraian. Perceraian, jalan terakhir. Jalan paling buruk. Jalan paling menyedihkan.
** Â Â Â
Calvin Wan Gugat Cerai Silvi Mauriska
Begitulah judul berita yang menghiasi sejumlah media massa dan media elektronik seminggu belakangan ini. Perceraian di kalangan artis dan model sudah biasa. Penyebabnya yang tidak biasa. Calvin menceraikan Silvi karena ingin Silvi bahagia. Ia tak ingin Silvi ikut menderita bersamanya.
Biasanya, yang terjadi adalah suami/istri menceraikan pasangannya yang sakit karena tak tahan merawatnya. Namun ini justru sebaliknya. Dia yang sakit parah malah menceraikan pasangannya semata demi kebahagiaan pasangannya itu. Agar pasangannya mendapatkan pengganti yang jauh lebih baik dan sempurna. Ia bercerai karena merelakan pasangannya berbahagia dengan orang lain.
Sungguh sebuah kerelaan yang menyentuh. Kerelaan yang hadir karena cinta. Lantas, bencikah para penggemar Calvin dengan keputusannya menggugat cerai Silvi? Tidak, mereka sungguh memahami. Tak membenci, tak menghakimi. Calvin berhak memutuskan yang terbaik, termasuk memutuskan untuk mengakhiri rumah tangganya.
Persoalan rumah tangga Calvin dan Silvi bersifat pribadi. Hal itu tak melunturkan kekaguman para pembaca artikel-artikelnya, para fansnya, dan rekan-rekannya sesama model. Mereka tetap mengagumi, menyayangi, dan mensupport Calvin. Jangan biarkan satu-dua kesalahan merusak kekaguman dan rasa cinta.
Di paviliun rumah sakit, Calvin terpaku. Menatapi berita-berita yang menyoroti gugatan cerainya. Pria tampan berdarah Tionghoa itu merasakan sakit. Bukan sakit dari ginjalnya, melainkan sakit di sudut hati terdalam lantaran harus berpisah dengan Silvi. Andai harus terpisahkan, mungkin inilah takdir cintanya.
Entah Silvi akan menerima gugatan cerai itu atau berkeras mempertahankan rumah tangganya. Calvin mengharapkan opsi pertama. Agar Silvi bahagia dan tak perlu merasakan sakitnya kehilangan dalam waktu lama.
Menulis menjadi pengalih perhatian. Demi melawan rasa sakitnya, ia menulis. Calvin Wan tetaplah Calvin Wan. Produktif dan konsisten di dunia literasi digital. Setiap hari, ada saja artikel yang ditulisnya di media itu. Kali ini tentang syarat membuat E-shop yang bagus. Ia seolah tak pernah kehabisan ide dalam menulis. Seperti ia tak pernah kehabisan cara untuk mencintai Silvi. Bercerai pun merupakan salah satu caranya mencintai Silvi.
Di mata Calvin, Silvi adalah wanita istimewa. Ia selalu mendoakan kebbahagiaan Silvi. Pikirnya, Silvi takkan bahagia bila terus bersamanya. Jalan satu-satunya adalah bercerai, lalu bergerak di belakang layar untuk mempersatukan Silvi dengan Revan.
Sementara itu, Silvi tak bisa menerima gugatan cerai Calvin. Tak peduli bagaimana keadaan Calvin, Silvi akan selalu mencintainya. Takkan mau berpaling ke lain hati. Calvin lebih dari sekadar istimewa. Ia sempurna di mata Silvi.
Cinta, terkadang sulit ditebak. Bahkan perceraian sering dianggap sebagai jalan terbaik untuk membuktikan cinta.
** Â Â Â Â
https://www.youtube.com/watch?v=fp0hIhv_3Oo
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI