Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Selembar Catatan Hati, 2 Hari Setelah Peringatan Hari Guru

27 November 2017   05:53 Diperbarui: 27 November 2017   06:45 1148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya bukan guru, namun saya tergelitik untuk menuliskan selembar catatan hati yang berkaitan dengan guru. Sejak kecil, saya dekat dengan banyak guru. Banyak guru yang telah saya anggap seperti orang tua sendiri. Entah mengapa, sejak kecil saya telah menjadi "kesayangan" para guru. Saya selalu dipercaya mewakili sekolah untuk mengikuti berbagai kompetisi, tampil menyanyi dan menjadi wakil para murid tiap kali sekolah kedatangan tamu penting, dan selalu meraih peringkat sepuluh besar. Saya pun tak mengerti mengapa itu bisa terjadi. Padahal kehadiran saya tidak full. Saya pun tidak pernaah belajar. Hanya sibuk bermain dan les saja. Itu pun bukan les pelajaran, melainkan les vokal.

Guru pertama yang paling berkesan bagi saya adalah guru les saya waktu kelas 6. Waktu itu saya baru tobat. Menjelang Ujian Nasional baru mau belajar dan mengikuti les dengan guru yang sangat kompeten. Beliau seorang guru cantik yang tegas tapi baik dan penyayang. Istri seorang anggota DPRD. Dia sangat baik pada saya. Pernah kehilangan satu anak dalam tragedi kecelakaan, namun ibu guru cantik ini sangat tegar. Beliau begitu baik pada saya dan keluarga. Saat anaknya menikah, saya dan kedua orang tua diundang. Sayalah satu-satunya murid lesnya yang diundang. Mungkin lantaran ibu guru cantik ini dekat juga dengan orang tua saya. Saat mengajar, beliau tegas dan profesional. Namun di luar waktu mengajar, sikapnya lembut dan hangat. Tak segan memuji anak muridnya cantik dan memberi panggilan sayang pada saya. Dibandingkan dengan wali kelas, saya justru lebih dekat dengan guru les. Wali kelas malah membuat saya frustrasi karena gaya mengajarnya yang tidak enak dan dia pernah cari gara-gara dengan Mama saya.

Guru kedua yang berkesan di hati saya temui waktu kelas 7. Beliau seorang putri pengusaha yang mengabdikan dirinya untuk mengajar di sekolah swasta. Single parent dengan satu anak lelaki yang cukup tampan. Guru saya ini begitu perhatian. Bahasa Inggrisnya sangat bagus.

Guru ketiga dan keempat juga saya jumpai di jenjang sekolah yang sama. Satunya wali kelas berdarah Sunda yang sangat halus dan keibuan. Satunya lagi guru cantik keturunan Minahasa yang sangat toleran. Mereka sangat baik pada saya. Ketika ibu cantik wali kelas itu berulang tahun, saya dan teman-teman merancang sebuah surprise party untuknya. Skenarionya sangat cantik: pura-pura ada perkelahian di dalam kelas, sangat dramatik. Sampai-sampai si ibu wali kelas dipanggil. Nampak panik dan cemas, beliau datang ke kelas. Saat itulah kami berteriak dan menyanyikan lagu untuknya. Beliau memeluk kami satu per satu. Sementara guru keempat itu dekat dengan saya secara personal. Meski berbeda agama, guru cantik ini baik dan toleran. Saat saya tertimpa masalah, beliaulah yang paling memahami saya. Beliau selalu ada ketika saya terpuruk dan mencari pelarian di luar rumah.

Guru kelima, keenam, ketujuh, dan seterusnya yang paling berkesan saya temukan di Senior High School. Di sinilah titik puncak dalam hidup saya. Ketika saya dipercaya untuk memimpin sebuah grup vokal, tetap berprestasi secara akademik meski ikut banyak organisasi, duduk dalam perpolitikan sekolah yang dikenal sebagai OSIS dan MPK, serta belajar membagi waktu. Bagi saya, di sinilah sekolah dan guru-guru terbaik. Mereka sangat pengertian dan sabar. Meski muridnya yang cantik dan manis ini banyak dispen, meski sibuk di sana-sini, mereka sungguh memahami situasi saya. Saat saya terlambat dua jam, mereka langsung mengizinkan saya masuk. Padahal teman-teman saya yang lain dihukum. Sebenarnya saya tak keberatan ikut dihukum, tapi mereka bersikap lunak pada saya.

Bila kebanyakan siswa takut ke ruang guru, ruangan tersebut justru membuat saya betah. Saya sering berlama-lama di sana. Berbincang hangat dengan banyak guru. Mendengarkan kisah hidup mereka. Jangan salahkan kalau saya dekat dengan beberapa guru dan memahami mereka lebih dari para murid lainnya. Ketika saya sedang melakukan pelarian dari masalah, entah itu masalah pribadi atau sekadar tidak klop dengan keluarga, merekalah tempat saya mengadu. Mereka mendengarkan keluhan-keluhan saya. Percaya atau tidak, saya pun bisa dekat dengan guru yang dianggap seram oleh anak-anak. Mereka justru begitu baik dan dekat pada saya, bahkan tidak ragu menceritakan kisah hidupnya pada saya.

Guru bukan hanya pendidik, tetapi sosok-sosok inspiratif di mata saya. Beberapa guru cantik dan tampan sering saya jadikan tokoh dalam novel atau kisah fiksi saya. Termasuk yang saya tulis di Kompasiana. Biasanya, para guru cantik dan tampan ini berperan sebagai ayah dan ibu di cerita-cerita. Saya masih ingat ekspresi wajah, senyuman, dan tawa mereka saat saya kisahkan siapa pasangan mereka dalam kisah fiksi atau novel-novel yang saya buat.

Mungkin lantaran dekat dan merasakan cinta kasih para guru, saya termotivasi untuk mengajar anak-anak di daerah terpencil. Hal ini pernah saya lakoni saat mengikuti Komunitas BISA (Bangkitkan Inspirasi Anak Bangsa). Komunitas BISA beranggotakan para profesional muda yang turun ke sekolah terpencil tiap empat bulan sekali untuk mengajar, memotivasi, dan memperkenalkan profesi mereka. Inspirasi terbentuknya Komunitas Bisa berasal dari kegiatan Kelas Inspirasi. Mungkin Kompasianer ada yang tahu atau pernah ikut Kelas Inspirasi? Nah, Komunitas BISA mempunyai kegiatan yang hampir sama dengan itu. Namanya Hari Berbagi. Di Komunitas BISA, saya menjadi relawan inspirator termuda. Saya senang mengajar. Saya bahagia bisa berinteraksi dengan anak-anak dan lebih dekat dengan mereka. Tahun lalu, bahkan ada seorang anak yang memanggil saya "Ibu Guru Cantik". Padahal Young Lady ini bukan guru, dan tidak cantik.

Sekali lagi, catatan ini ditulis oleh seseorang yang bukan guru. Mana nulisnya telat lagi, 2 hari setelah peringatan guru. Semoga belum terlambat untuk mengucapkan: selamat Hari Guru untuk semua guru di Indonesia. Tulisan cantik ini dipersembahkan untuk kalian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun