Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Psikolove, Akhirnya Ku Menemukanmu (5)

18 November 2017   06:37 Diperbarui: 18 November 2017   08:28 1218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di permukaan perasaan yang dalam

Ingin sekali sebenarnya terucap

Tak diasa lagi hingga tumbuh rasa hati

Dan berakhir jiwa terasa sepi

Aku tak bisa terus begini

Aku tak bisa mengatakan yang sesungguhnya

Tak bisa menunggu lagi

Pesan ini ku sampaikan sekali lagi

Ku beri kesempatan terakhirmu

Tak diasah lagi (tak diasah lagi) hingga tumbuh rasa hati

Dan berakhir jiwa terasa sepi

Aku tak bisa terus begini, aku tak bisa mengatakan yang sesungguhnya

Tak bisa menunggu lagi, pesan ini ku sampaikan sekali lagi

Ku beri kesempatan terakhirmu (kesempatan terakhirmu, kesempatan terakhirmu)

Teringat pertama menyentuhmu, ku tahu tak mudah jalani denganmu

Ku lewati dalamnya lembah hidup, mendaki ke tujuan si langit biru

Aku tak bisa terus begini, aku tak bisa mengatakan yang sesungguhnya

Tak bisa menunggu lagi, pesan ini ku sampaikan sekali lagi (sekali lagi)

Ku beri kesempatan terakhirmu (Isyana Sarasvati-Sekali Lagi ost Critical Eleven).

**     

Prang!

Tangan Calvin bergetar. Gelas kristal itu meluncur jatuh, lalu pecah. Pecahannya bertebaran di lantai.

Gelas itu hancur. Sehancur hatinya. Mengapa? Apa yang telah terjadi? Bukankah seharusnya Calvin merasakan kegembiraan setelah melakukan perjalanan visit itu? Bisa bertemu rekan-rekan sesama blogger, rafting, dan memotret Javan Silverry Gibbon dari dekat? Menuliskan laporan perjalanan yang bagus, bahkan artikelnya masuk nilai tertinggi. Semestinya ia excited. Lalu, mengapa ia harus bersedih?

Apakah karena ini Hari Sabtu? Hari yang sangat dibenci Calvin. Hari dimana ia selalu demam dan jatuh sakit. Tidak, bukan karena itu.

Calvin menderita, sungguh menderita dengan perasaannya sendiri. Ia tak bisa terus begini. Mencintai seseorang yang tak termiliki. Ingin rasanya membunuh rasa cinta ini. Namun riskan baginya. Pria berwajah oriental itu tak bisa melakukannya.

Kepedihan hidup tak juga berdamai dengan Calvin. Pria sebaik dan setampan itu justru terluka amat dalam. Kehilangan ibu, kehilangan seorang putri, menderita penyakit yang begitu parah, dan harus mencintai seseorang tanpa bisa memilikinya. Apa yang harus ia lakukan untuk membunuh kepedihannya?

Menyanyi dan memainkan piano? Calvin memang mantan penyanyi anak-anak dan penyanyi rohani. Siapa yang tak kenal Calvin Wan? Di masa kecilnya, ia sudah punya banyak fans. Penyanyi cilik yang tampan bersuara empuk. Masih kecil sudah punya fans. Namun, sudah lama Calvin tak menyentuh piano. Tepatnya sejak ia kehilangan anak tunggalnya.

Menulis? Sudah ia lakukan beberapa jam lalu. Menyusun laporan perjalanan setelah kegiatan visitnya dua hari lalu. Hasilnya memuaskan. Tapi tak sedikit pun ia merasakan kepuasan batin. Seharusnya Calvin bisa melawan rasa sakit dengan menulis. Bukankah tujuannya konsisten menulis one day one article untuk melawan penyakit?

Kembali ke perusahaan? Tak mungkin menarik lagi kata-katanya. Bila Calvin sudah berkata mundur, maka ia benar-benar telah mengundurkan diri dari perusahaan keluarga. Tanpa berniat kembali lagi. Sekali pun namanya masih terdaftar sebagai pewaris tunggal perusahaan. Sangat sulit bagi Calvin untuk menarik ulang kata-katanya.

Tidak, ia tidak bisa menemukan pelampiasan atas kesedihannya. Kesedihan yang hadir karena cinta terlarang. Bila Calvin nekat menyatukan rasa dengan wanita yang dicintainya, maka akan ada dua hati yang tersakiti. Calvin terlalu baik. Hatinya begitu lembut. Dia tidak ingin menyakiti siapa pun.

Konflik batin membuat perasaannya tak menentu. Merapuhkan tubuh dan pikirannya. Ia tak tahan bila terus begini. Di permukaan perasaannya yang dalam, Calvin memendam cinta. Cinta yang tak bisa bersatu.

Jiwanya bergetar menyampaikan pesan cinta. Ironisnya, Calvin tak bisa menyampaikan pesan cinta itu. Terlarang untuknya. Kesempatan demi kesempatan datang. Bila pikiran jahat dituruti, tentunya Calvin akan merebut wanita itu dalam sekejap. Pesona Calvin jauh lebih memikat. Hati yang baik menang. Berkorban, itulah yang dipilih Calvin.

Kini ia harus menanggung risiko atas pilihannya sendiri. Akhirnya ia menemukan cinta, memendamnya, membiarkan cinta menggerogoti hatinya dengan ganas, dan menenggelamkannya dalam kesedihan panjang.

"Kau tahu...aku sangat mencintaimu?" lirih Calvin, meraih pigura mungil berisi foto. Memeluk pigura itu, mengecupnya.

"Pertama kali aku menyentuhmu, aku tahu cinta ini takkan mudah. Kamu sudah dimiliki orang lain. Menyatukan rasa sama saja menyakiti dua hati. Tapi...aku tak bisa terus begini. Aku tak bisa terus menahan perasaanku."

Ada luka di mata itu. Ada gurat kesakitan di wajah tampan itu. Calvin yang tampan luar-dalam, harus tersakiti dan terluka berkali-kali. Sampai kapankah ia tegar menghadapinya?

Menahan perasaan cinta sangatlah berat. Mesti ada jalan keluar. Pikiran yang satu itu kembali bangkit. Pikiran yang semestinya tak boleh ia simpan. Baiklah, ia akan melakukannya.

Rumah besar bergaya Victoria ini begitu sepi. Takkan ada yang bisa mencegahnya kali ini. Jalannya mulus. Jalan untuk mengakhiri perasaan, jalan untuk mengakhiri hidup.

Calvin berlutut di lantai. Mengambil pecahan gelas terbesar. Ini mudah, sangat mudah. Sakitkah rasanya dijemput kematian? Mengapa ia belum mendengar derap langkah dan hembusan nafas Malaikat Izrail?

Bila ini yang terbaik, bila kematiannya bisa menyelamatkan dua hati dari rasa sakit, ia ikhlas. Toh dengan begini ia bisa menyusul ibu dan putri cantiknya. Calvin Wan akan mati dalam keadaan memilukan, tanpa istri dan anak. Tanpa cinta. Di saat seperti ini, Calvin merasa tidak dihargai, dicintai, dan diinginkan kehadirannya.

Sepasang mata sipit itu terpejam. Mungkin ia takkan sanggup melihat darahnya sendiri. Dua setengah senti lagi, sedikit lagi, sedikit lagi. Inilah titik lemah di pergelangan tangannya. Tanpa membuang waktu lagi, Calvin menusukkan pecahan kaca itu di sana. Menggoresnya berulang-ulang. Lagi dan lagi.

Darah berceceran. Sudah berakhir. Ya, semuanya sudah berakhir. Ternyata sangat menyakitkan.

Cermin di seberang ruangan memantulkan refleksi dirinya. Menunjukkan dengan jelas betapa pucatnya wajah Calvin. Ia telah kehilangan banyak darah. Sebentar lagi, hanya perlu menunggu sebentar lagi sebelum maut melepaskan nyawanya dari raga.

Darah terus mengalir. Mengalir, mengalir tanpa henti.

**       

https://www.youtube.com/watch?v=2wxdcGyQSVg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun