Calvin datang ke ruang konseling no. 2 dengan wajah pucat. Kecemasan menyerbu hati Clara. Apa lagi yang telah terjadi pada klien istimewanya ini? Clara tak bisa ingkar pada perasaannya sendiri.
"Calvin, are you ok?" tanya Clara halus, menatap cemas wajah pucat pria itu.
Perlahan Calvin mengenyakkan tubuhnya di sofa. Sofa hitam yang ia tempati pada konseling sesi pertama. Ia balas menatap Clara. Ada keletihan tercermin di sana. Berbaur dengan kesakitan.
"Aku tetap membenci Hari Sabtu..." lirih Calvin.
"I know. Kamu kenapa lagi? Apa sakit itu semakin parah?" Clara masih sabar melontarkan pertanyaan. Belum pernah Clara sesabar ini.
Pagi yang dingin dan suram bertambah suram bagi Clara. Ia tak bisa, sungguh tak bisa melihat Calvin serapuh itu. Di balik ketampanannya, Calvin menyimpan ketegaran yang dipaksakan. Sesungguhnya ia rapuh, teramat rapuh. Hanya Clara yang benar-benar mengerti kerapuhan Calvin Wan.
"Boleh aku tahu, apa yang membuatmu seperti ini?"
Dapat Calvin rasakan kesabaran Clara menanyainya. Meski ia memilih diam, enggan menjawab pertanyaan psikolog cantik itu, Clara tetap sabar. Sulit untuk menjawabnya.
"Calvin," panggil Clara sehalus mungkin.
"Bagaimana aku akan membantumu? Aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi padamu."
Gadis berwajah oriental itu menunggu. Berharap ia segera tahu segalanya.