Masih edisi galau ala Young Lady Latifah Maurinta Wigati. Kali ini edisi galaunya campur rindu boleh kan ya? Masalahnya, Young Lady lagi rindu dan khawatir sama tokoh "Calvin Wan" dan belum ada kekuatan buat melanjutkan kisahnya.
Tapi, bukan soal rindu yang ingin dibahas di sini. Kali ini, ada tulisan cantik yang ingin diulas tentang ujian kesetiaan.
Berawal dari curahan hati teman saya. Dia mendatangi saya, menyapa, dan duduk di samping saya. Teman perempuan ini memeluk saya sebentar, lalu mulai curhat.
Katanya, ayahnya akan menikah lagi. Dia dan kembarannya sempat menangis. Namun pada akhirnya ikhlas.
Kata teman saya, ayahnya akan kembali dari Malaysia sambil membawa calon istrinya tiga bulan lagi. Sejak punya calon istri, ayahnya tak pernah lagi meneleponnya. Tak pernah video call juga. Kecuali bila teman saya atau kembarannya yang menghubunginya lebih dulu.
Terlihat sekali dari ekspresi wajah dan nada suaranya kalau si ayah sedang jatuh cinta. Teman saya dan saudara kembarnya berusaha ikhlas. Mereka hanya ingin ayah mereka bahagia.
Saya bersimpati mendengarnya. Saya belai lengannya dan saya hibur dia. Dalam hati, saya berharap agar ayahnya tidak melupakan tanggung jawabnya sebagai ayah.
Saya pun berharap agar calon istrinya bersedia menerima dan menjadi ibu tiri yang baik. Teman saya yang satu itu, saya beri perhatian lebih, karena dulunya dialah klien pertama saya. Sejak di-hypnotherapy 5 sesi, mulai banyak perubahan darinya.
Sikapnya menjadi lebih lembut, sabar, mampu berdamai dengan masa lalu, bisa menerima kenyataan, tubuhnya yang semula gemuk kini menjadi langsing dan wajahnya lebih cantik.
Lama saya merenungkannya. Begitukah orang yang akan menikah? Apakah setelah menikah, setiap orang akan melupakan semua yang ada di dekatnya dan fokus pada dunianya sendiri?
Entahlah, saya belum menikah dan tidak ingin melakukannya sepertinya. Kalau saudara-saudara saya yang akan menikah, saya biasa saja. Tidak kehilangan, sebab saya tidak dekat dengan mereka.
Mereka saja yang berusaha dekat-dekat saya. Saya dingin-dingin saja pada mereka. Sebab saya tak mudah terbuka pada orang lain, sulit pula mempercayai orang lain.
Poin pertama yang saya dapatkan adalah, betapa sakitnya dilupakan orang-orang yang kita cintai. Melupakan itu tak mudah, tapi dilupakan itu sakit. Percayalah, tak mudah melupakan dan dilupakan. Saya pribadi pernah mengalaminya.
Rasa sakit hati jelas ada saat kita dilupakan oleh orang-orang yang kita cintai. Saat kita tak lagi spesial bagi mereka.
Saat meereka melupakan ulang tahun kita, kebiasaan-kebiasaan kita, hal-hal yang kita suka, dan semua tentang kita. Sakitnya hati dan jiwa saat orang yang kita cintai tak lagi mempedulikan kita. Saat mereka lebih sibuk dengan urusan lain, atau saat mereka berpaling ke lain hati.
Perasaan sakit hati karena telah dilupakan berujung pada kesepian, rasa tidak dicintai, dan ditinggalkan. Kompasianer, tahu tidak?
Kesepian itu sama menyakitkannya dengan patah hati. Kesepian bukanlah saat suasana di sekeliling kita sunyi, melainkan saat tak ada satu orang pun yang mencintai dan mempedulikan kita.
Seringnya kita dilupakan dan diabaikan membuat hati sulit mempercayai orang lain. Pada akhirnya, kita tak mudah terbuka pada orang lain. Sulit percaya dan menutup diri.
Kesepian dan hilang kepercayaan adalah dampak yang ditimbulkan ketika diri kita dilupakan dan ditinggalkan orang-orang yang kita cintai.
Proses melupakan dan dilupakan erat kaitannya dengan kesetiaan. Menurut saya, ada ujian kesetiaan di sini.
Apa itu ujian kesetiaan? Kesetiaan diuji saat ada pilihan yang lebih baik. Ketika belum ada pilihan lain yang lebih baik, kesetiaan pun belum teruji.
So, jangan mudah percaya begitu ada yang bilang pada kita, "Aku setia padamu. Percaya...aku cinta kamu tanpa syarat.
Aku terima kamu apa adanya." Saya pribadi takkan percaya begitu saja. Kalau perlu, ujilah kesetiaan mereka dengan cara tertentu. Semacam tes kecil yang berguna.
Kesetiaan bukan dibuktikan dengan kata-kata. Tetapi dengan perbuatan dan kasih. Setia akan hadir bila kita tetap ada di sisi orang yang dicintai sekalipun ada pilihan yang lebih baik di depan kita.
Setia itu tidak melupakan, tidak mengabaikan, dan tidak meninggalkan. Setia itu tetap bertahan pada satu pilihan. Kesetiaan dan konsistensi itu mahal harganya.
Ruang lingkup kesetiaan sangat luas dalam pandangan saya. Tidak hanya kesetiaan pasangan kekasih. Setia antara ayah dengan anak, keluarga, teman, sahabat, almamater, perusahaan/lembaga/institusi tertentu, itu pun layak diperhitungkan.
Godaan selalu datang, namun tergantung bagaimana cara kita menahannya. Tetap setia atau tergoda pada pilihan yang lebih baik? Semuanya kembali ke diri kita masing-masing.
Bicara itu mudah. Teori lebih gampang dari praktik. Percayalah, saya berani berpendapat seperti ini setelah melewati berbagai pengalaman yang mengajarkan tentang pentingnya kesetiaan dan konsistensi. Beberapa peristiwa yang saya alami membuat saya sadar betapa berharganya kesetiaan.Â
Saya pernah dilupakan dan ditinggalkan. Rasanya sakit sekali. Saya tidak ingin melakukannya pada orang-orang yang benar-benar saya cintai.
Mulai saat itu, saya berjanji untuk selalu meluangkan waktu buat orang-orang yang saya cintai, sesibuk apa pun saya.
Pokoknya dalam sehari, saya pastikan selalu jaga komunikasi dengan orang-orang yang saya cintai, dimana pun dan apa pun yang tengah saya lakukan.
Sedikitnya orang yang dekat dan saya sayangi membuat saya sangat menghargai waktu, kesetiaan, serta komunikasi.
Sebab saya tahu bagaimana sakitnya dilupakan. Jangan sampai apa yang terjadi pada saya, terjadi pula pada orang lain. Orang-orang yang kenal baik dengan saya tahu itu.
Kompasianer, pernahkah kalian menjadi korban ketidaksetiaan? Pernahkah kalian dilupakan oleh orang yang dicintai?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H