"Suara Rein bagus. Permainan pianonya juga," pujinya tulus. Ia berlutut untuk menyamakan posisi tubuhnya dengan Reinhart.
"Dari mana Rein belajar lagu itu?"
"Rein pernah dengar Mami sama Papi nyanyiin lagu itu. Sebelum Mami pergi."
Pastilah tak mudah bagi Reinhart untuk mengingatnya kembali. Kenangan buruk itu tak mungkin terlupakan.
"Rein kangen Mami?"
"Kangen banget. Mami udah lama pergi. Kenapa Mami harus pisah sama Papi? Apa karena Rein?"
Bayangan kesedihan menutupi wajah Reinhart. Reinhart yang tampan, pintar, dan baik. Ia lebih cocok menjadi anak Tuan Calvin.
Tak bisa melihat Reinhart bersedih, Tuan Calvin memeluknya. Membawa anak itu dalam rengkuhan hangatnya. Reinhart serasa menemukan kebahagiaan dan harapan baru. Dalam pelukan Tuan Calvin, ia tenang. Inilah yang dirindukannya: pelukan seorang ayah. Kasih sayang yang tulus dan utuh dari sosok ayah.
"Bukan salah Rein." kata Tuan Calvin lembut.
"Papi sama Mami harus pisah karena alsan lain. Yang jelas bukan karena Rein."
"Tapi kenapa harus pisah? Kenapa Mami nggak pernah datang buat Rein? Mami benci ya, sama Rein?" tanya Reinhart putus asa.