Yah, kamu tahu sendirilah. Tak terlukiskan bagaimana hancur hatiku setelah kejadian ini. Seperti kata Rossa dalam lagunya, dengan cinta yang tak termiliki.
Ironis ya, diary. Aku bisa mengajari klien-klien hypnotherapyku untuk mengelola perasaan dan bertahan dari kesedihan. Tapi aku sendiri masih bertahan pada perasaan yang sama: mencintai seseorang yang takkan mungkin termiliki. Terkadang kita bisa bijak untuk orang lain, tapi sulit untuk bijak pada diri sendiri.
Calvin membantuku bertahan. Dia pria hebat menurutku. Konsisten, sabar, dan setia. Sedikit sekali orang yang mau konsisten di zaman sekarang ini. Lama kuanalisis, aku yakin jika Calvin mampu menghargai proses. Salah satu hal yang kusukai dalam diri Calvin adalah konsistensinya. So, aku termotivasi untuk konsisten seperti dia. Kuharap Calvin bisa tetap konsisten dalam apa pun.
** Â Â
Wednesday, 11 December
Diary, ternyata bukan hanya teman-temanku yang suka pamer kemesraan. Saudara-saudaraku pun begitu. Hal paling tidak mengenakkan bagiku malam ini adalah melihat sepupu-sepupuku menelepon kekasihnya. Mereka sering sekali bercerita tentang kekasihnya di depanku. Mengapa tiap kali berkumpul, keluarga besarku selalu membicarakan love and relationship? Seakan tak ada topik lain saja. Aku merasa terasing. Sepertinya, sepi mengurungku di tengah keramaian. Kalau boleh memilih, lebih baik rumahku tetap sunyi seperti hari-hari biasanya. Hanya ada aku, Mama, dan Papa. Begitu lebih baik menurutku. Berkumpul dengan keluarga besar sama sekali bukan hal yang kusukai.
Calvin menenangkanku. Kata dia, semua orang butuh cinta. Bahkan Calvin membesarkan hatiku. "Kamu punya cinta dari orang tua dan saudara-saudaramu". Kata-katanya cukup menenangkan. Namun aku setengah tak percaya. Benarkah mereka mencintaiku? Kalau mereka mencintaiku, mengapa mereka terus menyakitiku dengan membangga-banggakan kekasih mereka? Diary, aku sulit mempercayai orang lain. Sekali pun keluargaku sendiri. Aku lelah mempercayai orang lain, diary. Mungkin mudah bagi Calvin untuk mempercayai orang lain. Hatinya yang lembut dan selalu berpikiran positif itu pastilah tak sulit mempercayai banyak orang. Sedangkan aku? Aku tidak seperti itu. Diary, jika aku jadi mereka, aku takkan menceritakan siapa kekasihku. Biar mereka tahu sendiri.
Aku kesepian, diary. Sesaat tadi Calvin menemaniku. Ia menenangkan hatiku. Tapi tak mungkin bagiku meminta Calvin terus di sisiku. Dia sakit lagi. Demam akibat efek samping kemoterapi dua hari lalu membuatnya harus tidur lebih awal. Apa lagi sepanjang hari tadi aktivitasnya cukup padat. Aku paham, pasti dia kelelahan dan butuh istirahat. Aku selalu mendoakan kesehatan dan kebahagiaan untuk Calvin. Entah dia akan mendoakanku juga atau tidak, tapi aku akan selalu berdoa untuknya.
** Â Â
Membaca potongan masa lalu itu membuatnya sedih. Cepat-cepat Nyonya Calisa menutup kembali buku diarynya. Tepat ketika pintu balkon bergeser terbuka. Tuan Calvin mendekat. Wangi Hugo Boss menyertai kehadirannya.
"Calisa, are you ok?" Ia bertanya lembut. Duduk di samping Nyonya Calisa, memeluknya erat.