Dalam keadaan sedih tak terkira, saya mencoba menemukan peluang baru: menovelkan kisah Albert-Renna. Saya mendapat support dari banyak pihak. Tanpa mereka, riskan saya bisa menyelesaikannya.
Finally, novel itu selesai. Target saya tercapai. Dan saya kembali ke media kesayangan kita semua. Saya menemukan harapan baru dan kebahagiaan baru.
Di satu sisi, saya masih merasakan hati saya hancur. Saya masih mencintainya hingga detik ini. Di sisi lain saya bahagia. Bahagia karena berhasil merilis karya baru, dan bahagia karena menemukan perhatian, kasih sayang, waktu, serta support. Saya sedih dan patah hati, namun di saat bersamaan saya tak perlu lagi merasa kesepian. Ada bagian hati saya yang masih tertutup rapat. Namun ada pula celah di hati saya yang mulai terbuka. Entahlah, perasaan saya terbagi dalam dua sisi.
Satu hal yang pasti: saya mensyukuri keadaan ini. Jika kita meninggalkan sesuatu karena Tuhan kita, maka Tuhan akan memberi lebih banyak pengganti yang jauh lebih baik. Kira-kira begitulah pelajaran berharga yang bisa saya ambil dari kejadian itu. Mungkin kalau saya tidak patah hati, target untuk menyelesaikan novel tidak tercapai. Mungkin kalau saya tidak patah hati, saya takkan punya kesempatan untuk berbicara dan mendapatkan pencerahan serta bertukar pikiran dengan seseorang yang baik dan pintar.Â
Kalau hal yang membuat patah hati itu tak pernah terjadi, saya takkan sebahagia kini: bahagia karena novel selesai, dan bahagia karena dia. Hati saya mulai melunak dan terbuka untuk percaya lagi, namun masih tersisa ketakutan kecil di sudut hati: takut menyakiti diri sendiri, takut disakiti, takut disalahgunakan kepercayaannya, dan takut menyakiti perasaan orang lain. Di atas semua itu, hal yang paling saya takutkan adalah menjadi perusak rumah tangga orang lain. Saya harap apa yang saya takutkan tidak terjadi.
Hingga detik ini, saya masih mencintai pria yang memutuskan hidup selibat itu. Sedangkan untuk yang pertama saya cari dan selalu ada saat saya berada dalam titik terbawah, saya cintai dia sebagai saudara. Cinta banyak jenisnya. Ucapan I Love You luas maknanya. Dan saya menikmatinya dengan bahagia. Terlebih lagi saya tak punya saudara laki-laki. Kalian kira enak hanya tinggal bertiga dengan Mama dan Papa? Bukannya saudara, di sini saya hanya ditemani Aurora, Kermit, dan koleksi boneka-boneka cantik yang semuanya saya beri nama. Saya biasa memeluk mereka ketika akan tidur atau saat kesepian di waktu malam.
Mungkin pembaca menganggap saya orang aneh, tak punya perasaan, dan cepat move on. Tapi percayalah, saya tidak bermaksud begitu. Saya hanya ingin bangkit dari kesedihan. Life must go on. Dan beginilah cara Tuhan membantu saya.
Saya jadi ingat kisah artis Ririn Ekawati yang baru saja kehilangan suaminya, Ferry Wijaya. Suami Ririn Ekawati itu meninggal karena penyakit kanker darah dalam usia 33 tahun. Apakah Ririn Ekawati larut terlalu lama dalam kesedihan? Tidak. Dia kembali menjalani hidupnya dengan tegar. Kembali bekerja dan beraktivitas normal. Walau beberapa netizen mem-bullynya, ia stay cool saja.
Kebaikan diri sendiri jangan diingat, tapi kebaikan orang lain harus selalu diingat. Saya takkan melupakan kebaikannya, pertolongannya, dan supportnya saat saya berada dalam titik terbawah. Sungguh, saya takkan melupakannya.
Back to focus. Pelajaran berharga yang dapat dipetik dari pengalaman tersebut adalah menghadapi patah hati dengan elegan. Ada banyak cara untuk menghadapi patah hati dengan elegan. Kita boleh sedih, boleh marah, dan boleh patah hati. Semua perasaan itu menunjukkan sisi humanis kita. Namun, hadapilah dengan elegan. Jangan jadikan patah hati sebagai alasan untuk menghancurkan diri sendiri. Salah besar bila kita patah hati lalu diri kita ikut hancur.
Percaya atau tidak, bukan hanya hal positif yang dapat menjadi motivasi. Secara psikologis, hal-hal negatif pun bisa memotivasi. Sam Smith saja baru bisa menciptakan lagu saat dia galau. Nah, galau itu hal negatif kan? Sama saja dengan patah hati. So, bagaimana caranya agar patah hati bisa dihadapi dengan elegan?