Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kompasiana dan Energi Positif: Berusaha Menulis dengan Cantik

3 Juli 2017   06:10 Diperbarui: 4 Juli 2017   04:56 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Dari tahun ke tahun, penglihatan saya makin berkurang saja. Saya tak mengerti apa yang terjadi pada diri saya. Dan saya lebih suka menyimpannya sendiri. Kalau pun ingin berbagi, ya lewat tulisan saja.

Bicara tentang tulisan, Kompasiana memuaskan ambisi saya untuk berbagi lewat tulisan. Saya bisa menulis dengan leluasa di sini. Kompasiana seperti ruang kebebasan bagi saya.

One day one article, itulah kontribusi yang coba saya berikan. Setidaknya saya sempatkan waktu menulis dalam satu hari. Pagi hari menjadi waktu yang ideal yang saya pilih untuk memposting tulisan. Ketika pagi hari, orang-orang dalam keadaan fresh dan penuh semangat. Membaca tulisan pun masih antusias. Dalam keadaan segar dan bersemangat, materi-materi dalam tulisan yang mereka baca bisa terserap dengan baik. Risiko salah persepsi bisa dikurangi. Membaca tulisan baru di pagi hari juga dapat meningkatkan mood dan menambah inspirasi. Sama halnya seperti membaca koran. Bukankah enaknya dibaca di pagi hari?

Itulah pertimbangan saya untuk mempublish artikel di pagi hari. Waktunya pun saya usahakan sama tiap harinya: pukul enam. Memposting artikel pukul enam pagi di Kompasiana sudah menjadi rutinitas yang menyenangkan bagi saya. Jika saya tidak melakukannya, rasanya ada yang kurang. Jika saya tidak tepat waktu, itu karena saya benar-benar terjebak pada situasi di luar kendali saya yang membuat saya terhalang untuk posting tepat pukul enam pagi.

Ketepatan waktu saya perhitungkan. Entah, sejak kecil saya senang kerja keras. Bekerja dengan tepat waktu dan disiplin. Termasuk soal kedisiplinan menulis di Kompasiana.

Tanpa disadari, Kompasiana telah menjadi elemen penting dalam hidup saya. Energi positif yang terpancar dari Kompasiana memacu saya untuk menulis, menulis, dan terus menulis. Tujuan saya menulis di Kompasiana bukanlah mencari keuntungan dan popularitas. Melainkan hanya ingin berbagi dan berkontribusi untuk media jurnalisme warga kesayangan kita ini.

Kompasiana bukan hanya tempat berekspresi dan berkreasi. Bagi saya, Kompasiana sudah seperti keluarga. Di sini saya menemukan teman, sahabat, guru, bahkan belahan jiwa. Setiap hari saya bisa berinteraksi dengan para Kompasianer dari berbagai latar belakang dengan saling berkunjung ke artikel satu sama lain. Bukan hanya artikel, saya dapat berinteraksi setiap saat dengan teman-teman Kompasianer lewat media grup Whatsapp. Menyenangkan sekali. Hidup jadi semakin berwarna karena Kompasiana. Kesepian saya sedikit berkurang dengan hadirnya Kompasiana.

Padatnya aktivitas dan datangnya berbagai masalah hidup kini mulai saya temukan penawarnya. Apa lagi kalau bukan Kompasiana? Tiap kali membuka Kompasiana dan membaca artikel teman-teman Kompasianer, rasanya pikiran lebih rileks. Beban berat di pikiran berkurang. Hidup semula seperti monokrom, kini mulai berwarna.

Meski tak semuanya selalu menyenangkan, meski saya pernah tertimpa pengalaman pahit ditipu seorang Kompasianer, saya masih merasa betah di sini. Jika tidak nyaman, sudah lama saya tinggalkan Kompasiana tercinta. Sempat terbersit niat ingin meninggalkan Kompasiana. Di satu sisi, saya sudah tak tahan. Di sisi lain, saya sangat cinta Kompasiana. Ternyata rasa cintalah yang menang. Saya batal say good bye dari sini. Terbukti, kekuatan cinta mengalahkan segalanya.

Soal cinta, itu pulalah yang menjadi alasan saya konsisten menulis fiksi dengan tokoh pria yang sama di Kompasiana. Walau beberapa kali tokoh wanita berganti, tetap saja saya memakai tokoh pria yang sama. Itu karena apa? Semua karena cinta. Ups, kenapa seperti lagunya Delon ya?

Cinta pada satu orang pria menuntun saya menulis dengan konsisten di Kompasiana. Walau penyakit, luka, dan perbedaan membuat kami berpisah, saya tetap ingin menuliskan namanya dalam setiap kisah yang saya tuliskan. Sayangnya, hal itu sangat saya lakukan. Kejadian yang saya alami minggu lalu dengannya membuat saya seolah kehilangan arah dalam menulis di Kompasiana. Saya seolah kehilangan potongan jiwa di Kompasiana.

Saya ingin mencari potongan jiwa yang hilang itu. Minggu lalu, dua hari setelah kejadian itu, saya meminta salah seorang Kompasianer menulis bersama saya. Intuisi saya mengatakan, dia Kompasianer yang baik dan bisa saya percaya. Mudah-mudahan kali ini saya mempercayai orang yang tepat. Saya takut tertipu lagi. Bukankah sangat sulit membangun kepercayaan?

Selama menunggu dia kembali, saya mencoba menulis sendirian. Rasanya sulit sekali. Pedihnya seperti luka kotor penuh bakteri dan kuman yang disiram alkohol. Kompasianer pasti tahu bagaimana rasanya.

Setiap tindakan harus didasari alasan yang kuat. Saya punya alasan untuk meminta seorang Kompasianer menulis bersama saya. Saya membutuhkan kekuatan dan arahan untuk bangkit lagi serta menemukan potongan jiwa yang hilang dari tulisan-tulisan saya. Itulah sebabnya saya butuh teman, pendamping, pasangan, atau apa pun namanya dalam menulis. Menurut Kompasianer, salahkah saya meminta hal seperti ini?

Seseorang yang jiwanya terguncang oleh ujian berat akan merasakan apa yang saya rasakan. Ketika itulah support yang tulus dari orang-orang baik menguatkannya. Cinta kasih dan ketulusan adalah obat untuk menyembuhkan luka hati. Makna cinta kasih tak terbatas pada cinta antara perempuan dan laki-laki atau cinta sepasang kekasih. Cinta di sini bermakna sangat luas dan universal. Memberi support dan menguatkan orang lain bukan hanya boleh dilakukan oleh sepasang kekasih atau suami-istri yang saling mencintai saja. Support, perhatian, dan pendampingan yang tulus dapat diberikan pada teman, sahabat, anak, keluarga, klien, atau siapa pun yang membutuhkannya.

Timbul ketakutan di hati kecil saya. Bagaimana bila saya mempercayai orang yang salah? Bagaimana jika ia ingkar janji? Kalau ia tidak bisa memegang kata-katanya, siapa lagi yang bisa saya percayai untuk menulis bersama saya di sini? Dan membantu saya menyelesaikan kisah yang telah saya tulis? Ketakutan dapat dilawan dengan pikiran positif. Saya coba itu. Ternyata itu bukan ketakutan biasa. Ada unsur kewaspadaan di dalamnya. Waspada pada adanya benih-benih pengkhianatan dan pengingkaran janji. Mungkin rasa waswas ini muncul dari proteksi diri saya yang sangat kuat. Selama ini saya sudah terlalu over memproteksi diri saya sendiri.

Masih ada lagi satu ketakutan lain di benak saya: takut kehilangan. Tepatnya takut kehilangan kesempatan menulis di Kompasiana. Bukankah Kompasiana sedang berproses untuk memasuki tampilan versi baru? Nah, saya memiliki kendala pada Kompasiana versi baru. Aplikasi screen reader yang saya pakai untuk membaca dan menulis tidak support dengan Kompasiana versi baru. Segala cara telah saya coba, namun tetap saja saya tidak bisa menggunakan Kompasiana versi baru. Sedangkan kondisi saya tidak memungkinkan untuk berhenti memakai aplikasi screen reader. Sepanjang hidup saya harus bergantung pada aplikasi itu jika ingin membaca, menulis, melakukan pekerjaan tertentu, atau mengakses informasi. Timbul tanda tanya di hati saya. Akankah Kompasiana lama dihapus bila sudah ada Kompasiana baru? Bila Kompasiana lama dihapus, itu artinya saya tidak bisa lagi menulis di sini. Kemungkinan besar, tulisan-tulisan saya beberapa hari ke depan akan menjadi tulisan terakhir bila Kompasiana baru telah selesai disempurnakan dan Kompasiana lama dihapus. Entahlah, saya hanya bisa menunggu dan melihat bagaimana akhirnya nanti.

Well, saya memang bukan Kompasianer hebat yang punya nama. Bukan Kompasianer kritis dan analitis. Bukan pula Kompasianer dengan artikel-artikel keren yang menempati posisi headline setiap saat. Saya hanya Kompasianer yang berusaha menulis dengan cantik. Saya hanya Kompasianer pemula yang tidak ada hebat-hebatnya sama sekali. Cukup berupaya menulis dengan anggun dan cantik, itulah yang bisa saya lakukan.

Finally, saya hanya ingin mengucapkan satu kalimat sebagai penutup. I love Kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun