Mungkin Kompasianer dan kaum strong di Ngawursiana bertanya-tanya. Apa benang merahnya perayaan Idul Fitri dengan cinta dan kepasrahan total pada Allah? Ternyata ada. Saya menemukannya dalam perenungan yang saya lakukan.
Mama saya memiliki satu orang kakak dan beberapa adik. Idul Fitri tahun ini, mereka berkumpul di rumah saya. Praktis saya dan keluarga inti tidak mudik. Melainkan menyambut keluarga besar yang berdatangan.
Mereka memiliki kebiasaan yang berbeda dari kami. Jujur saja, bila kami memilih tidur di hotel saat pergi ke luar kota, mereka lebih suka menginap di rumah kami. Entah apa alasannya. Kami tak pernah merepotkan orang lain dengan meminjam kendaraan dan lebih suka naik kendaraan pribadi, mereka senang ikut mobil kami. Porsi makan mereka lebih banyak dari kami. Saya dan keluarga inti memang pecinta kuliner, tapi kami tahu batas dan porsi makan kami tidak sebanyak mereka dalam satu hari. Penampilan mereka pun berbeda dengan kami. Jujur saya katakan, menurut saya mereka kurang stylish dan elegan kecuali salah satu sepupu laki-laki. Maaf bila saya to the point dan kesannya mengkritisi keluarga besar saya sendiri. Namun itulah kenyataannya. Mau protes karena keterusterangan saya? Saya doakan yang protes masuk alam barzah sekarang juga.
Rumah saya yang biasanya sepi menjadi sangat ramai selama Lebaran. Semua orang seakan punya energi lebih untuk bercanda dan tertawa. Makanan berlimpah dan Mama saya bolak-balik memenuhi request anggota keluarga besar yang merindukan kelezatan masakannya. Mereka senang mencicipi masakan lezat buatan Mama. Saya jadi kasihan melihat Mama saya menguras tenaga dan pikirannya untuk mereka. So, saya berusaha membantu Mama semampu saya. Rasanya antara kasihan dan tidak rela Mama terus-menerus diperalat dan dimanfaatkan orang lain. Saya bukannya berpikir negatif, melainkan hanya melihat hal ini dari perspektif berbeda.
Soal berbelanja pun menimbulkan kerepotan tersendiri. Sepanjang hari terakhir kunjungan mereka ke Bandung, kami menemani mereka berbelanja oleh-oleh. Terlihat lagi perbedaan yang mencolok. Keluarga besar suka berbelanja di pasar biasa, sedangkan kami lebih memilih mall dan supermarket saat ingin membeli pakaian atau aksesoris. Melihat kerumunan orang yang memadati areal pasar saja sudah membuat kami lelah dan stress. Sugesti yang ada di pikiran kami hanyalah lelah. Terlebih kami tidak bisa menawar harga barang. Celakanya, saya dan keluarga inti sering dijebak pedagang. Mereka sengaja mematok harga mahal untuk kami. Mama saya yang paling sering kena jebakan. Alhasil, kami tidak berbelanja apa-apa dan hanya menemani mereka.
Sepanjang Lebaran kemarin, ada satu topik hangat yang dibahas keluarga besar: pernikahan salah seorang sepupu. Dia sudah memiliki calon suami dan akan menikah. Setelah Lebaran, akan diadakan prosesi lamaran. Masalahnya klasik: biaya. Sepupu saya yang akan menikah ini mengalami kesulitan biaya dan perencanaan menikah. Banyak sekali yang harus diurus untuk acara lamaran dan pernikahannya. Lalu apa yang terjadi? Coba Kompasianer dan kaum strong Ngawur Siana tebak. Mama saya membantu prosesi lamaran dan pesta pernikahan. Kalian mengerti maksud saya, kan?
Mama saya membantu persiapan pernikahan keponakannya. Sementara anaknya sendiri kemungkinan besar takkan menikah. Siapa yang mau menikahi gadis difable, infertil, dan tidak berguna? Tidak ada, kan?
Tentu saja Mama tak boleh tahu soal ini. Cukup saya saja yang tahu ironi menyakitkan ini. Tapi saya salut dengan Mama. Anaknya sendiri belum menikah, dan di saat orang tua lain sibuk memikirkan anaknya sendiri, beliau justru masih sempat memikirkan keponakannya. Anak orang lain, tepatnya anak orang lain yang akan menikah melangkahi putrinya.
Mengapa dikatakan melangkahi? Sebab Mamalah yang lebih dulu menikah dan punya anak waktu itu. Mama memang punya satu orang kakak, tapi kakaknya itu memiliki kondisi istimewa. Kondisi yang membuatnya tidak bisa memiliki anak. Kini kakaknya Mama dan istrinya mengadopsi seorang anak berumur empat tahun.
Siapa orang yang mau dilangkahi dalam menikah? Siapa orang tua yang tidak sedih ketika anaknya sendiri dilangkahi? Namun dengan segala kerelaan hati, Mama membantu prosesi lamaran dan pernikahan keponakannya. Satu hal yang membuat saya semakin mengagumi Mama.
Belum habis pembicaraan seputar rencana pernikahan, ada lagi sepupu saya yang lain sibuk membanggakan kekasihnya. Sepupu saya yang satu itu punya kekasih yang kaya. Sang kekasih suka membelikannya barang-barang mahal. Tiap kali makan di luar, selalu saja sang kekasih yang membayarnya. Meski sudah punya pasangan, beberapa orang ingin menjodohkan sepupu saya dengan anak mereka. Saya tersenyum dan ikut senang mendengarnya. Syukurlah, berarti saudara-saudara saya tak kesulitan mencari cinta. Cukup saya yang ‘tidak laku’ dan mengalami kekecewaan cinta. Jangan sampai saudara-saudara saya mengalaminya pula. Saya ingin apa yang saya alami tidak terjadi pada orang lain.