Di hari pertama Lebaran, keluarga saya sibuk menerima tamu dari para penghuni kompleks perumahan dan orang-orang yang tinggal di perkampungan di sebelah kompleks perumahan tempat tinggal kami. Sebelum kami sendiri saling bermaafan, kami sudah menerima kunjungan sejumlah tamu. Mereka berdatangan selesai shalat Ied.
Tak seperti Lebaran tahun-tahun sebelumnya, kali ini kami menyambut tamu di teras depan. Sebab tahun ini kami kedatangan keluarga besar. Saat kami asyik berfoto, tamu-tamu sudah datang. Praktis kami menyambut mereka. Mereka pun menjadi segan untuk masuk saat melihat adanya keluarga besar. Prosesi silaturahmi dilakukan di teras depan. Itulah perbedaannya dengan Lebaran di tahun-tahun sebelumnya.
Soal menerima tamu saat Lebaran pertama, saya dan keluarga telah terbiasa. Kami akan membuka pintu depan dan pintu pagar lebar-lebar. Memberi kesempatan bagi para tamu untuk masuk. Mempersilakan mereka masuk, lalu bersalaman dan bermaafan. Sekitar 10-15 menit mereka habiskan di rumah kami. Mereka melontarkan pujian pada kue-kue buatan Mama. Tanpa segan menghabiskannya tepat di depan mata saya. Pernah Mama saya membuat fruit pie, salah satu makanan favorit saya. Tapi kue lezat nan cantik itu disajikan di ruang tamu tepat ketika Lebaran pertama. Apa yang terjadi? Para tamu yang berdatangan itu menghabiskan pai buah kesukaan saya. Padahal saya sama sekali belum mencicipinya sepotong pun. Tujuan sebenarnya Mama membuat pai itu untuk saya. Malamnya, Mama saya meminta maaf dan berjanji akan membuatkannya lagi untuk saya. Back to focus, setelah itu mereka pamit pulang. Tak lupa Mama membagikan uang pada anak-anak kecil yang bertamu bersama orang tua mereka.
Urutan kedatangan para tamu itu cukup sistematis. Pastinya diawali dengan para penghuni kompleks perumahan bersama keluarga mereka. Setelah orang-orang kompleks pergi, datanglah orang-orang yang tinggal di perkampungan. Kelompok orang satu ini yang biasa “memanfaatkan” kebaikan hati Mama saya. Tamu yang datang paling akhir biasanya mantan supir keluarga saya. Meski dia sudah tidak bekerja lagi untuk kami, silaturahmi tetap terjaga. Keluarga saya akan memberi uang yang lebih besar jika mantan supir itu datang untuk bersilaturahmi. Sebab mantan supir itu punya anak dan cucu yang sangat banyak. Kehidupannya pun berada di bawah standar.
Alhasil, saya dan keluarga tidak pernah berkeliling untuk bersilaturahmi. Rumah kamilah yang didatangi. Hal itu tidak berubah dari tahun ke tahun. Tugas kami hanyalah melakukan semacam open house dalam skala tertentu.
Hal yang sama terjadi pula pada almarhumah Eyang Putri. Sewaktu beliau masih hidup, rumahnya yang selalu didatangi. Eyang Putri juga melakukan hal yang sama dengan Mama: open house.
Sering kali saya berpikir. Apa alasan sebuah keluarga melakukan open house? Apa alasan orang-orang mendatangi satu keluarga tertentu untuk bersilaturahmi? Apa karena keluarga Mama saya dituakan? Tapi, masih ada yang lebih tua dari Mama, Papa, atau almarhumah Eyang Putri. Atau karena keluarga kami dihormati dan disegani? Apakah sebegitu diseganinya sampai harus didatangi tiap Lebaran pertama? Wallahu alam, saya pun tak tahu jawabannya.
Satu hal yang pasti. Tiap kali Lebaran pertama, keluarga saya harus menyisihkan banyak waktu untuk menyambut tamu. Waktu pribadi agak berkurang.
Kompasianer, bisakah menjawab pertanyaan saya? Apa alasan melakukan open house?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H