Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Puasa Ramadan, Bentuk Cinta pada Orang Miskin

16 Juni 2017   08:37 Diperbarui: 16 Juni 2017   20:11 921
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Akhir pekan lalu, saya dan keluarga pergi ke sebuah pusat perbelanjaan. Saya pribadi berniat mencari parfum. Sebab parfum saya hampir habis. Tapi produk parfum yang saya cari tidak ada. Jadinya saya malah membeli lipstick dan makanan favorit saya.

Ketika saya dan keluarga selesai memasukkan barang-barang belanjaan ke mobil dan bersiap pulang, terdengar bunyi goresan di bagian belakang mobil kami. Serentak kami kaget dan menekan tombol power window. Sejauh penglihatan saya yang terbatas itu, nampak seorang pemulung kecil berpakaian kotak-kotak. Dia masih anak-anak. Entah karena iseng atau apa, dia sengaja menyentuh mobil kami. Hanya itulah yang bisa saya amati.

Saya tak tahu apa salah saya dan keluarga. Sampai-sampai anak pemulung itu ingin menggores mobil kami. Meski demikian, kami sama sekali tidak marah. Toh mobil kami tidak apa-apa.

Peristiwa kecil di areal pusat perbelanjaan itu membuat saya bertanya-tanya. Apa motif anak itu menggores mobil kami? Apakah hanya mobil kami yang ingin digoresnya, ataukah semua mobil yang terparkir di sana? Mungkinkah anak itu hanya iseng semata?

Faktor keisengan ala anak-anak mungkin saja. Dan itu masih wajar. Setiap orang pernah mengalami fase kanak-kanak, dan saya yakin kita semua pernah melakukan kenakalan di fase itu. Sebaik-baiknya diri kita, pasti ada saja satu-dua kali niat berbuat kenakalan.

Bila dianalisis lebih jauh lagi, terdapat faktor pemicu lain yang lebih kompleks dibanding faktor iseng. Apa faktor itu? Tak lain rasa iri dan ironi.

Jurang pemisah antara orang kaya dan orang miskin makin lebar. Contohnya mudah saja. Di pusat perbelanjaan, supermarket, atau mall, pemandangan yang tersaji adalah lalu-lalang orang berkantong tebal yang ingin berbelanja. Mereka datang dengan mobil mewah, motor keren, atau taksi bonafide. Pakaian mereka bagus. Dengan uang di tangan, mereka siap membeli barang-barang pemuas kebutuhan dan keinginan. Mall, supermarket, dan pusat perbelanjaan hanyalah milik orang kaya.

Coba kita bandingkan dengan orang miskin dan kurang mampu lainnya. Mereka hanya bisa menatap penuh harap pada kemewahan pusat perbelanjaan tanpa bisa berbelanja di dalamnya. Kalau pun datang ke mall, tujuannya untuk bekerja. Misalnya menjadi pemulung, juru parkir, dll. Bagi mereka, mall dan pusat perbelanjaan hanya milik orang kaya.

Ironisnya, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Kontras sekali perbedaan gaya hidup orang kaya dan orang miskin. Adanya kontradiksi itu menimbulkan rasa iri dan kesenjangan sosial. Rasa iri dilampiaskan dengan berbuat nakal atau merusak barang yang bukan miliknya.

Kembali ke kasus anak pemulung berbaju kotak-kotak itu. Saya berpikir. Andai saja dia paham, puasa Ramadhan yang dijalani umat Muslim selama sebulan penuh merupakan salah satu bentuk cinta pada orang-orang duafa seperti dirinya. Jika dia mau berpikir luas dan memahami esensi Ramadhan, pastilah dia takkan merusak mobil orang lagi.

Puasa Ramadhan mewujudkan rasa cinta pada orang miskin. Betulkah? Apa korelasinya Ramadhan dengan orang miskin?

Saat berpuasa, umat Islam diwajibkan menahan haus dan lapar dari pagi sampai sore. Sejenak berhenti dari kebiasaan makan dan minum sepuas-puasnya setiap waktu. Jika umat Islam mau, bisa saja mereka tetap memuaskan lapar dan haus dengan makan-minum sebanyak mungkin seperti sebelas bulan lainnya. Toh makanan enak mampu disediakan. Toh minuman lezat bisa didapatkan dengan mudah.

Namun umat Islam yang beriman dan penuh empati takkan melakukan itu. Mereka tetap konsisten menjalankan puasa. Mereka rela tidak makan dan minum selama berjam-jam meski mereka mampu membeli makanan-minuman yang lebih dari layak untuk dikonsumsi. Aturan puasa sama saja untuk seluruh umat Islam di dunia. Pejabat, pengusaha, artis, model, politikus, guru, dokter, insinyur, aristokrat, pelajar/mahasiswa yang beragama Islam di negara mana pun menjalankan ibadah puasa dengan tata cara dan aturan yang sama.

Esensi puasa Ramadhan tak hanya untuk menahan diri dan beribadah pada Allah. Melainkan pula sebagai bentuk empati pada saudara-saudara kita yang kurang beruntung. Puasa di bulan Ramadhan mengajarkan kita untuk mencintai orang miskin. Kita ikut merasakan apa yang mereka rasakan. Bukan bermaksud menyiksa atau menyengsarakan, tapi agar rasa empati kita lebih terasah.

Orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan terbiasa menahan lapar dan haus setiap hari. Bahkan mereka terbiasa menyantap makanan berbuka yang juga menjadi makanan sahur mereka. Rasa lapar seolah telah menjadi sahabat mereka. Terbiasa makan seadanya membuat mereka tidak bisa pilih-pilih. Besok mau makan apa dan dari mana, itulah pertanyaan yang memenuhi benak mereka tiap harinya.

Lantas, bagaimana dengan kita? Kita masih bisa makan cukup dan bergizi. Tak perlu lagi merasakan kelaparan dan kehausan. Bisa memilih-milih jenis makanan yang kita sukai. Bahkan bisa makan di restoran.

Sudah sepatutnya kita bersyukur. Lebih banyak melihat ke bawah, bukan ke atas. Puasa Ramadhan pun mengajarkan kita untuk lebih banyak melihat ke bawah dan mensyukuri nikmat Allah.

Selain berpuasa, ada lagi bentuk cinta yang dilakukan untuk orang miskin pada bulan suci ini. Kita bisa memberikan zakat fitrah di akhir Ramadhan. Zakat fitrah yang diberikan dapat meringankan beban saudara-saudara sesama Muslim yang hidup dalam kekurangan. So, jangan malas atau menunda-nunda membayar zakat fitrah. Di antara harta kita, ada yang menjadi hak orang miskin.

Masih ada lagi cara lain untuk menunjukkan rasa cinta pada orang miskin. Di antaranya dengan bersedekah, berbagi takjil, atau mengadakan acara berbuka puasa bersama orang-orang miskin. Cintai dan dekatilah mereka. Jangan malu berbaur dengan mereka. Muslim sejati adalah Muslim yang rendah hati, sabar, lembut, toleran, santun, penolong, tulus, penyayang, dan dermawan. Bersedekah pada kaum duafa tidak membuat harta kita habis. Justru harta kita akan terus dan terus bertambah.

Allah dan Rasulullah pun mencintai orang miskin. Apa buktinya? Fidyah. Jika ada umat Muslim yang tidak bisa berpuasa Ramadhan karena suatu keadaan, ia diwajibkan mengganti puasanya di bulan lain atau membayar fidyah. Fidyah itu ditujukan untuk orang miskin.

Salah satu wasiat Rasulullah adalah mencintai orang miskin. Rasulullah, selain dikenal dengan akhlaknya yang sempurna, juga dikenal sebagai pebisnis dan pemimpin yang sukses dan dermawan. Beberapa sahabat Rasulullah yang pasti masuk surga dan tergolong dermawan dengan harta kekayaannya adalah Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Abdurrahman bin Auf. Sahabat-sahabat Rasulullah terkenal kaya raya dan dermawan.

Tak ada kata terlambat. Waktunya mencontoh kebaikan dan kedermawanan mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun