Ramadhan tahun ini, dunia hiburan tanah air kembali berselimut duka. Diawali dengan kematian artis Yana Zein pada tanggal 1 Juni 2017, lalu kepergian Julia Perez sembilan hari kemudian, dan meninggalnya suami Ririn Ekawati, Ferry Wijaya, tanggal 11 Juni 2017. Nyawa mereka terenggut oleh jenis penyakit yang sama: kanker. Yana Zein mengidap kanker payudara. Julia Perez terkalahkan oleh kanker serviks. Hidup Ferry Wijaya terenggut oleh Leukemia, kanker darah.
Dari ketiga kisah duka tersebut, yang paling menginspirasi bagi saya adalah kisah Ferry Wijaya. Hati saya tergerak untuk menuangkan kisah itu dalam artikel maupun dalam fiksi. Diketahui Ferry Wijaya merupakan suami Ririn Ekawati. Ia seorang pengusaha muda dan tampan. Tak hanya itu, Ferry juga kolektor jam tangan dan mobil mewah.
Satu lagi fakta menarik tentang Ferry Wijaya. Ternyata ia seorang mualaf. Fakta inilah yang sangat menarik sekaligus menyentuh hati saya.
Kisah Ririn Ekawati dan Ferry Wijaya bagai magnet yang menggerakkan hati saya untuk mengikuti dan mengeksplornya dari sudut pandang yang berbeda. Saya baca kisah mereka di berbagai media. Saya pun melihat foto dan video yang berkaitan dengan mereka. Hasilnya, hati saya terenyuh.
Banyak hal yang saya jadikan pelajaran berharga dari kisah mereka. Ririn Ekawati dan Ferry Wijaya sungguh menginspirasi.
Mulai dari pernikahan mereka yang tertutup. Tak perlu ada publisitas, tak perlu memberi tahukan besar-besaran. Yang terpenting adalah esensi dari pernikahan itu. Boleh saja pernikahan tertutup, namun esensi cinta yang terkandung di dalamnya sangat dalam. Tak usah mengekspos kisah cinta kita. Tulusnya cinta jauh lebih berharga dibanding publisitas. Buat apa mempublikasikan pernikahan bila esensi cinta dari pernikahan itu sendiri tidak ada? Bahkan saya berpikir dan berencana dalam hati. Jika saya ditakdirkan menikah, saya pun menginginkan pernikahan yang tertutup namun berlandaskan cinta. Jika saya tidak ditakdirkan untuk menikah ya tidak apa-apa. Minimal saya ingin membantu mempersatukan orang lain ke dalam ikatan pernikahan.
Hal berikutnya adalah, soal menyembunyikan penyakit. Rupanya Ferry Wijaya telah mengidap Leukemia jauh sebelum ia menikah dengan Ririn Ekawati. Pada akhirnya ia memberi tahukan penyakit kanker darah yang dideritanya pada sang istri. Saya mencoba menganalisis hal ini dari perspektif yang berbeda. Ferry Wijaya pastilah punya alasan untuk merahasiakan penyakitnya dari Ririn Ekawati. Bisa saja ia ingin melindungi istrinya dari guncangan psikologis. Ferry Wijaya tak ingin Ririn Ekawati bersedih. Ferry Wijaya memastikan Ririn Ekawati selalu bahagia. Maka, merahasiakan penyakitnya adalah satu-satunya pilihan. Kita harus sadari, terkadang orang yang kita cintai berbohong atau menyembunyikan sesuatu demi melindungi kita. Saya sendiri pernah mengalaminya belakangan ini. Pria yang saya cintai berbohong pada saya. Ia menyembunyikan masa lalu, luka hati, dan rasa sakitnya. Butuh waktu berbulan-bulan bagi saya untuk mengungkap segalanya. Hingga detik ini, belum semuanya terungkap. Saya tak tahu sampai kapan ketidakpastian ini akan berakhir. Satu hal yang pasti: seseorang punya alasan kuat untuk menyembunyikan sesuatu dari orang yang dicintainya. Bukan karena ia ingin membohongi atau memendam niat jahat, melainkan semata demi kebaikan orang yang dia cintai.
Sebaliknya, Ririn Ekawati lebih memilih merahasiakan penyakit suaminya. Jika dianalisis lebih dalam, ada maksud lain di balik keputusan untuk merahasiakan penyakit mendiang suaminya itu. Kemungkinan yang paling mendekati adalah motif perlindungan. Jika kita mencintai seseorang, kita akan melindungi orang yang kita cintai. Kita sembunyikan kekurangannya, kita jaga dirinya dari ancaman reputasi buruk, kita jauhkan dia dari orang-orang yang tidak menyukainya. Menyembunyikan kekurangan orang yang dicintai bukan berlandaskan rasa malu. Justru itulah bentuk perlindungan kita pada dia. Buatlah dia merasa aman dan nyaman dengan perlindungan kita. Bela dia dari orang-orang yang membencinya. Sebagai orang yang mencintainya, tempatkan diri kita sebagai orang yang selalu melindungi dan membelanya. Apa pun yang terjadi. Sebanyak apa pun orang yang membenci dia.
Saya pernah berada dalam situasi ini. Betapa tidak sukanya teman-teman saya saat mereka tahu siapa sosok yang saya cintai selain keluarga. Mereka melontarkan ujaran kebencian. Hati saya tak terima. Sakit rasanya mendengar seseorang yang saya cinta dihina dan diinjak-injak. Ketika saya menepis semua pernyataan kebencian itu, mereka malah marah. Mereka mengatakan kalau saya hanya diperdaya dan dimanfaatkan oleh pria itu. Padahal itu sama sekali tidak benar. Saya masih ingat persis kejadiannya tahun lalu.
Okey, back to topic. Pelajaran berharga lainnya yang dapat dipetik dari kisah Ririn Ekawati dan Ferry Wijaya adalah keinginan untuk kuat di depan orang yang dicintai. Dalam salah satu pemberitaan yang saya baca, dikatakan bahwa Ririn Ekawati sempat video call dengan Ferry Wijaya. Saat itu Ririn Ekawati sedang menjalankan ibadah Umrah di Tanah Suci Mekkah. Sementara suaminya dirawat di rumah sakit. Ferry Wijaya tak bisa berbicara karena memakai selang. Namun, tatapan matanya seolah bicara. Meyakinkan Ririn Ekawati bahwa dia baik-baik saja. Lagi-lagi ada motif perlindungan di sini. Tepatnya, Ferry Wijaya ingin melindungi Ririn Ekawati dari rasa khawatir. Ia tak ingin membuat istrinya sedih dan mencemaskannya. Orang yang benar-benar mencintai kita, takkan pernah membiarkan kita sedih, takut, dan khawatir.
For your information, Ferry Wijaya meninggal tanggal 11 Juni 2017 dini hari pukul 00.15 WIB di RSPI, Jakarta Selatan. Ferry Wijaya meninggal setelah mengajak anak-anaknya berlibur ke Puncak. Cobalah sedikit saja berpikir luas dan membuka cara pandang kita. Ada poin berharga dari fakta ini. Dalam keadaan sakit, Ferry Wijaya masih memikirkan orang lain. Masih punya niat baik untuk menyenangkan hati anak-anaknya. Orang yang tidak egois adalah orang yang tak pernah mementingkan dirinya sendiri. Sebaliknya, ia lebih memikirkan orang lain. Bukankah itu luar biasa? Tubuh berjuang melawan penyakit mematikan, namun tetap menyempatkan diri untuk memikirkan dan menyenangkan hati orang lain.
Saya kenal dengan beberapa surviver kanker. Biasanya, yang saya lakukan adalah membesarkan hati dan menguatkan mereka. Di antara mereka, ada yang berputus asa, sering mengeluh, dll. Tapi ada juga yang tetap optimis dan tetap berbuat baik untuk orang lain. Terserang penyakit bukanlah alasan untuk berhenti berbuat baik dan membahagiakan orang lain.
Belajar dari masa lalu, itulah poin berharga berikutnya. Ferry Wijaya merupakan seorang duda tiga anak. Sedangkan Ririn Ekawati pernah menikah dengan Edwin Abeng sebelum ia dinikahi Ferry Wijaya. Mereka mempunyai masa lalu yang sama. Ditinjau dari sisi psikologis, orang yang memiliki masa lalu yang kelam tidak akan mau mengulang lagi kesalahan yang sama. Mereka bisa belajar dari masa lalu. Pahitnya masa lalu menjadi pelajaran hidup bagi mereka. Masa lalu tidak dapat dihapus, tapi dapat diperbaiki.
Last but not least, inilah yang paling menyentuh: selalu ada dalam suka dan duka. Tulus mencintai dalam keadaan sehat maupun sakit. Lewat akun Instagramnya, Ririn Ekawati mengunggah foto-foto kebersamaannya dengan Ferry Wijaya. Pernikahan mereka begitu bahagia. Liburan romantis keliling dunia menjadi momen istimewa. Ririn Ekawati dan Ferry Wijaya semakin bahagia saat dikaruniai seorang putri cantik bernama Abigail Cattleya Putri. Kehidupan mereka sangat sempurna.
Ironisnya, kebahagiaan mereka terenggut paksa oleh ganasnya Leukemia. Cinta Ririn Ekawati tak sedikit pun berkurang. Ia selalu berada di sisi suaminya dalam kondisi apa pun. Ririn Ekawati mendampingi Ferry Wijaya dalam menghadapi rasa sakitnya.
Lalu, tibalah akhir kisah itu. Ririn Ekawati melakukan ibadah Umrah untuk mendoakan kesembuhan Ferry Wijaya di Tanah Suci. Tak disangka, Ferry Wijaya menghembuskan nafas terakhirnya tanpa didampingi Ririn Ekawati.
Momen paling mengharukan terjadi saat Ririn Ekawati memeluk dan mencium jenazah Ferry Wijaya sebelum prosesi pemakaman. Membuat air mata saya jatuh saat melihat videonya. Ririn Ekawati sosok wanita luar biasa. Saya ingin mencontoh ketegaran dan ketulusan hatinya.
Saya mencoba melihat kisah ini dengan mata hati. Perjalanan Umrah yang dilakukan Ririn Ekawati merupakan salah satu bentuk pertanda dan petunjuk dari Allah. Ririn Ekawati pergi Umrah agar bisa mendoakan Ferry Wijaya di depan Ka’bah. Allah menjawab doa Ririn Ekawati dengan cara yang berbeda. Perjalanan ke Tanah Suci dan meninggalnya Ferry Wijaya merupakan rangkaian dari skenario yang telah ditentukan oleh Illahi. Umrahnya Ririn Ekawati menjadi pertanda/firasat yang mengawali semua itu. Mungkin Kompasianer tak mengerti dengan jalan pikiran saya. Saya hanya mencoba melihat kisah istimewa ini dengan mata hati, intuisi, ilmu firasat, indera keenam, ilmu kebatinan, atau apa pun namanya. Apa yang saya pikirkan coba saya transkripsikan ke dalam kata-kata, meski terasa sangat sulit.
Bagi kebanyakan orang, setia pada pasangan yang sakit parah tidaklah mudah. Sama seperti setia pada pasangan mandul dan disabilitas. Meski demikian, ada satu hal yang perlu kita tahu.
Sakit adalah cobaan. Kita tak pernah tahu, apakah tubuh kita bisa sehat terus atau tidak. Penyakit fisik maupun penyakit psikis dapat menggerogoti diri kita sewaktu-waktu. Salah satu kekuatan terbesar kita saat melawan penyakit adalah kehadiran orang-orang yang mencintai kita. Tentunya orang yang mencintai kita tanpa syarat.
Bila kita mencintai seseorang, cintai kelebihannya dan kekurangannya. Orang yang mencintai kita dengan tulus takkan pernah meninggalkan kita. Saat bahagia maupun sedih, ia selalu ada di samping kita.
Selamat jalan Ferry Wijaya. Semoga ia mendapat tempat terbaik di sisi Allah, dilapangkan kuburnya, diampuni kesalahannya, dan dipertemukan kembali dengan Ririn Ekawati di kehidupan akhirat yang kekal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H