Saya kenal dengan beberapa surviver kanker. Biasanya, yang saya lakukan adalah membesarkan hati dan menguatkan mereka. Di antara mereka, ada yang berputus asa, sering mengeluh, dll. Tapi ada juga yang tetap optimis dan tetap berbuat baik untuk orang lain. Terserang penyakit bukanlah alasan untuk berhenti berbuat baik dan membahagiakan orang lain.
Belajar dari masa lalu, itulah poin berharga berikutnya. Ferry Wijaya merupakan seorang duda tiga anak. Sedangkan Ririn Ekawati pernah menikah dengan Edwin Abeng sebelum ia dinikahi Ferry Wijaya. Mereka mempunyai masa lalu yang sama. Ditinjau dari sisi psikologis, orang yang memiliki masa lalu yang kelam tidak akan mau mengulang lagi kesalahan yang sama. Mereka bisa belajar dari masa lalu. Pahitnya masa lalu menjadi pelajaran hidup bagi mereka. Masa lalu tidak dapat dihapus, tapi dapat diperbaiki.
Last but not least, inilah yang paling menyentuh: selalu ada dalam suka dan duka. Tulus mencintai dalam keadaan sehat maupun sakit. Lewat akun Instagramnya, Ririn Ekawati mengunggah foto-foto kebersamaannya dengan Ferry Wijaya. Pernikahan mereka begitu bahagia. Liburan romantis keliling dunia menjadi momen istimewa. Ririn Ekawati dan Ferry Wijaya semakin bahagia saat dikaruniai seorang putri cantik bernama Abigail Cattleya Putri. Kehidupan mereka sangat sempurna.
Ironisnya, kebahagiaan mereka terenggut paksa oleh ganasnya Leukemia. Cinta Ririn Ekawati tak sedikit pun berkurang. Ia selalu berada di sisi suaminya dalam kondisi apa pun. Ririn Ekawati mendampingi Ferry Wijaya dalam menghadapi rasa sakitnya.
Lalu, tibalah akhir kisah itu. Ririn Ekawati melakukan ibadah Umrah untuk mendoakan kesembuhan Ferry Wijaya di Tanah Suci. Tak disangka, Ferry Wijaya menghembuskan nafas terakhirnya tanpa didampingi Ririn Ekawati.
Momen paling mengharukan terjadi saat Ririn Ekawati memeluk dan mencium jenazah Ferry Wijaya sebelum prosesi pemakaman. Membuat air mata saya jatuh saat melihat videonya. Ririn Ekawati sosok wanita luar biasa. Saya ingin mencontoh ketegaran dan ketulusan hatinya.
Saya mencoba melihat kisah ini dengan mata hati. Perjalanan Umrah yang dilakukan Ririn Ekawati merupakan salah satu bentuk pertanda dan petunjuk dari Allah. Ririn Ekawati pergi Umrah agar bisa mendoakan Ferry Wijaya di depan Ka’bah. Allah menjawab doa Ririn Ekawati dengan cara yang berbeda. Perjalanan ke Tanah Suci dan meninggalnya Ferry Wijaya merupakan rangkaian dari skenario yang telah ditentukan oleh Illahi. Umrahnya Ririn Ekawati menjadi pertanda/firasat yang mengawali semua itu. Mungkin Kompasianer tak mengerti dengan jalan pikiran saya. Saya hanya mencoba melihat kisah istimewa ini dengan mata hati, intuisi, ilmu firasat, indera keenam, ilmu kebatinan, atau apa pun namanya. Apa yang saya pikirkan coba saya transkripsikan ke dalam kata-kata, meski terasa sangat sulit.
Bagi kebanyakan orang, setia pada pasangan yang sakit parah tidaklah mudah. Sama seperti setia pada pasangan mandul dan disabilitas. Meski demikian, ada satu hal yang perlu kita tahu.
Sakit adalah cobaan. Kita tak pernah tahu, apakah tubuh kita bisa sehat terus atau tidak. Penyakit fisik maupun penyakit psikis dapat menggerogoti diri kita sewaktu-waktu. Salah satu kekuatan terbesar kita saat melawan penyakit adalah kehadiran orang-orang yang mencintai kita. Tentunya orang yang mencintai kita tanpa syarat.
Bila kita mencintai seseorang, cintai kelebihannya dan kekurangannya. Orang yang mencintai kita dengan tulus takkan pernah meninggalkan kita. Saat bahagia maupun sedih, ia selalu ada di samping kita.
Selamat jalan Ferry Wijaya. Semoga ia mendapat tempat terbaik di sisi Allah, dilapangkan kuburnya, diampuni kesalahannya, dan dipertemukan kembali dengan Ririn Ekawati di kehidupan akhirat yang kekal.