“Makasih, Cantik.”
“Mau kemana, Cantik?” Begitu katanya.
Waktu dia terlibat konflik dan di-bully, saya yang menenangkan dan menghiburnya. Saya meyakinkan dia jika dia masih punya teman. Terkadang saya heran, mengapa teman-teman sekelas harus menjauhi dan mem-bullynya? Padahal dia tidak salah.
Bulan Ramadhan tiba bertepatan dengan liburan akhir semester genap. Saya tak menyangka, saat UAS itulah pertemuan terakhir saya dengannya. Terakhir dia bercerita, dia akan mengisi liburannya dengan mengajar di sebuah TK. Teman saya itu memang menyukai anak-anak. Sifatnya keibuan, membuat ia dekat dengan anak kecil. Saya mendukung niat baiknya itu.
Kembali ke malam meninggalnya dia, saya hanya tidur sedikit sekali. Saya terus memikirkan dan mendoakannya. Keesokan paginya, saya melayat ke rumahnya. Saya tahu alamat rumahnya, namun belum pernah berkunjung. Hampir setahun berteman, saya belum sempat main ke rumahnya. Saya kenakan gaun hitam, lalu bergegas pergi.
Tiba di lokasi, saya terkejut dan bertambah sedih. Bagaimana tidak, saya baru tahu kalau rumahnya berada di dalam gang sempit. Mobil pun tidak bisa masuk. Alhasil, mobil diparkir di jalan raya dan saya lanjutkan dengan berjalan kaki. Sempat saya berpapasan dengan beberapa teman satu almamater. Kami saling sapa dan bersalaman.
Sewaktu saya sampai di rumahnya, ternyata teman saya sudah dimakamkan. Beberapa tetangga menyalami saya dan bertanya,
“Geulis, temannya Fitri nya?”
Mereka sangat ramah dan memberi jalan pada saya. Keadaan rumahnya membuat saya makin tersentuh. Tak pernah saya duga jika dia tinggal di rumah sekecil itu.
Di dalam, saya temui ibunya. Sang ibu tidak ikut ke pemakaman. Beliau sedang berbaring di kasur tipis yang diletakkan di lantai. Ekspresinya begitu sedih dan shock.
“Makasih ya Neng, sudah mau datang.” kata si ibu.