Guratan sedih di wajahnya terurai. Di akhir sesi keempat, wajah gadis berdarah Minang itu menampakkan sedikit keceriaan. Binar bahagia kembali terpancar di matanya. Dari waktu ke waktu, kesehatan mentalnya semakin baik.
“Aku bahagia kalau orang-orang yang kuobati bahagia, Amanda.” Ujar gadis bermata biru dan bergaun baby blue itu.
“Iya, aku tahu itu. Kamu orang baik. Apa kamu selalu memberikan sentuhan pada semua klienmu?” tanya Amanda ingin tahu.
“Tidak. Hanya pada klien-klien tertentu kuberikan sentuhan. Itu pun sentuhan non seksual. Dan aku tidak menyentuh klien pria.” Jawab si gadis bermata biru tegas.
Ya, kecuali satu. Bisik hati kecilnya. Tunggu, klien pria yang satu itu istimewa. Ia pengecualian. Ia lebih dari sekedar klien. Lagi-lagi ingatannya membawanya pada sosok pria itu. Pria yang membutuhkan terapi dan konseling intensif jangka panjang itu.
“Hebat. Kamu punya prinsip. Oh ya, kamu udah punya pacar belum?”
Ingin rasanya si gadis menutup matanya saat itu juga. Mengapa harus pertanyaan itu yang terlontar dari bibir Amanda? Ia tak pernah suka mendapat pertanyaan tentang kekasih atau relasi dengan lawan jenis. Namun ia menyembunyikan ketidaksukaannya di balik senyuman lembut. Banyak klien yang ingin tahu kehidupan pribadi ahli terapinya. Ia sudah sering menghadapi pertanyaan itu. Namun, profesionalitas adalah segalanya. Bila pun harus memberikan informasi, sifatnya takkan terlalu pribadi.
“Oh, aku tahu. Orang secantik kamu pasti sudah punya pacar. Apakah dia tampan? Apakah kalian juga punya masalah?” Amanda bertanya lagi, kali ini lebih atraktif.
Dia sangat tampan, bisik nuraninya. Bahkan lebih dari sekedar tampan. Masalah? Sangat banyak. Entah seperti apa akhir kisah si ahli terapi dengan klien istimewanya yang tinggal di biara itu. Hanya Allah yang tahu.
“Kamu bijak untuk orang lain. Aku yakin, kamu pasti bijak untuk dirimu sendiri.”
Sesi itu diakhiri dengan senyum penuh harapan Amanda.
**
Ribuan hari aku menunggumu
Jutaan lagu tercipta untukmu
Apakah kau akan terus begini
Masih adakah celah di hatimu
Yang masih bisa ku tuk singgahi
Cobalah aku kapan engkau mau
Tahukah lagu yang kausuka
Tahukah bintang yang kausapa
Tahukah rumah yang kautuju
Itu aku
Tahukah lagu yang kausuka
Tahukah bintang yang kausapa
Tahukah rumah yang kautuju
Itu aku (Sheila on 7-Itu Aku).
**
“Albert baik-baik saja, kan? Tidak sakit, kan? Ada masalah dengan tesismukah? Aku mengkhawatirkanmu.”
Sepanjang hari mendengarkan permasalahan orang lain tak membuatnya lupa pada orang-orang yang dicintainya. Sama seperti gadis lain, ia juga punya kehidupan pribadi. Ia juga punya belahan jiwa. Sosok yang selalu ia perhatikan, ia sayangi, dan ia cintai dengan caranya sendiri. Meski sosok itu masih menutup rapat-rapat celah di hatinya.
“Dor! Sayang, ngapain sih masih kirim e-mail buat orang nggak tahu diri kayak dia?”
Julian tiba-tiba mengagetkannya. Pemuda berdarah Melayu-Tionghoa itu tersenyum. Mencuri pandang ke arah laptop si gadis bermata biru.
“Julian, stop. Jangan sebut dia seperti itu. Dan jangan panggil aku sayang.” Kata gadis itu dingin.
“Hei, kenapa? Bukankah kamu suka diberi panggilan sayang? Dan bukankah beberapa temanmu yang lain juga suka memanggilmu begitu?” protes Julian.
“Iya, tapi maknanya beda. Aku tidak suka panggilan sayang darimu.”
Ruangan oval itu hening. Gadis itu tak sadar jika ia telah menorehkan luka di hati Julian. Julian bergerak ke samping sofa, melingkarkan lengan. Seolah ingin memeluk gadis itu.
“Aku baru sampai dari Bengkulu...dan aku ingin peluk kamu. Tapi sikap kamu malah kayak gini.” Desahnya kecewa.
“Big no, Julian. Sekali tidak, tetap tidak. Kamu kan tahu isi hatiku.”
“Okey, aku tahu. Tapi, apa dia tahu kamu ada? Apa orang tidak tahu diri dan sok jual mahal itu menganggap kamu? Tidak, kan?”
Argumen Julian diplomatis. Tersimpan kemarahan dan rasa geram dalam setiap suku katanya.
“Aku tidak peduli, Julian. Terserah cinta itu akan terbalas atau tidak. Cinta yang tulus tidak akan pernah mengharapkan balasan.”
“Terus, kamu mau terus melakukan banyak kebaikan untuknya sampai kapan pun? Sampai umur kamu habis? Atau sampai dia duluan yang akhirnya meninggal?” tantang Julian.
“Iya. Itulah yang akan kulakukan.” Gadis bermata biru itu menyahut yakin.
Di luar dugaan, terlintas kilat kekaguman di mata Julian. “Kamu hebat, Sayang. Kamu...adalah gadis yang tidak pernah egois. Kamu selalu tahu cara menyayangi orang lain, sampai-sampai kamu lupa memikirkan dirimu sendiri.”
Entah itu pujian atau sindiran. Gadis itu tak peduli. Yang jelas ia telah melemparkan argumennya. Itu sudah cukup.
“Soulmate-mu itu beruntung dicintai oleh kamu,” gumam Julian lirih. Lalu ia melanjutkan.
“Misalnya kamu menikah dengan orang lain suatu saat nanti, apa kamu akan tetap mencintainya?”
“Tentu saja. Boleh saja ragaku dimiliki pria lain, tapi hatiku tidak. Hatiku tetap miliknya.”
Bagai patung di Museum Madame Tussauds, Julian berdiri terpaku. Ia tak lagi membantah gadis itu. Ia sudah mengerti semuanya kini. Cinta yang tulus tidak akan mengharap balasan.
**
“Kini aku sadari... ini salahku. Tak ingin ku terlambat dan sesali. Maafkanlah bila ku selalu...membuatmu marah dan benci padaku. Kulakukan itu semua, hanya untuk membuatmu bahagia. Mungkin ku Cuma tak bisa pahami. Bagaimana cara tunjukkan maksudku. Aku Cuma ingin jadi yang terbaik untukmu.”
Dorongan hati membuatnya memainkan kesepuluh jarinya di atas piano dan menyanyikan lagu itu. Si gadis terperangkap dalam perasaan bersalah. Bersalah pada Albert, pada Julian, pada sepupunya, dan pada Roman.
“Ya Allah...maafkan aku. Bukan Albert yang membantuku memilih skala prioritas untuk tabungan itu, tapi Roman. Maafkan aku.”
Celakanya, ia masih melihat bayangan Albert dalam diri Roman. Meski mereka sesungguhnya berbeda.
Ia putuskan untuk membeli buku itu. Dan tetap mengikuti event dunia pageants itu. Dua-duanya tetap ia pilih. Demi menyenangkan hati mereka yang telah membantunya memilih. Di atas semua itu, buku dan modeling adalah hobinya. Ia ingin belajar mandiri. Seroyal apa pun orang tuanya dalam memberi, ia mencoba tidak meminta bantuan mereka.
“Dua-duanya bagus. Tapi...lebih baik untuk membeli buku saja. Kalau sudah selesai dibaca, bukunya bisa dikirimkan ke saya.”
Kata-kata itu terekam di memorinya. Pria baik hati itu telah membantunya memilih. Pria yang sering mengingatkannya pada Albert. Karena itulah dia merasa semakin bersalah pada pria baik hati itu. Bukannya menolong, ia justru menorehkan luka. Sebab ia melihat sosok lain dalam diri pria itu. Terkadang ia merindukan pria itu, namun diselipi rasa rindu pada sosok yang lain pula. Ironis.
**
Setiap malam aku selalu merenung
Terbayang dapat menyentuh wajahmu
Ingin kuulangi sekali lagi
Rasa indah yang pernah kualami
Kurasakan kehampaan
Kuinginkan kehangatan
Cintai aku lagi
Seperti waktu itu
Tak bisa kuhindari
Hati selalu merindu
Sayangi aku lagi
Tak mampu ku sendiri
Tanpa hadirmu, tanpa cintamu
Ingin kuulangi sekali lagi
Rasa indah yang pernah kualami
Kurasakan kehampaan
Kurindukan kehangatan
Cintai aku lagi
Seperti waktu itu
Tak bisa kuhindari
Hati selalu merindu
Sayangi aku lagi
Tak mampu ku sendiri
Tanpa hadirmu, tanpa cintamu
Takkan lelah hati ini
Menantimu kan kembali
Cintai aku lagi
Seperti waktu itu
Tak bisa kuhindari
Hati selalu merindu
Sayangi aku lagi
Tak mampu ku sendiri
Tanpa hadirmu, tanpa cintamu
Cintai aku lagi
Seperti itu
Tak bisa kuhindari
Hati selalu merindu
Sayangi aku lagi
Tak mampu ku sendiri
Tanpa hadirmu, tanpa cintamu (Sania-Cintai Aku Lagi).
**
Sang Papa membuainya dengan kisah-kisah penuh kenangan. Bercerita tentang teman-temannya di Seminari Mertoyudan. Si gadis bermata biru dan kali ini berpiyama biru senang sekali mendengarnya. Ia suka sekali kisah-kisah semacam itu. Tentu saja sang Papa bercerita saat tak ada Mamanya. Kesempatan yang jarang sekali terjadi.
Malam ini, dapat dipastikan ia akan tertidur nyenyak. Dan akan terbangun di sepertiga malam untuk menunaikan qiyamullail.
Paginya, kembali ia mendapati sebuah kejutan. Salam cinta yang dilayangkan sepupunya, adik kandung Larissa yang rupawan.
“Anton, aku sudah menuruti permintaan Larissa dan Bundamu. Mengingatkanmu untuk segera menikah. Bagaimana jawabanmu?” desak gadis itu penasaran.
Adik kandung Larissa itu tersenyum. Roman mukanya semakin menawan.
“Kamu tahu? Aku sedang terlibat sedikit konflik dengan Bunda,” jelasnya.
“Kenapa, Anton? Ada apa?”
“Bunda menginginkanku mengurus bisnis keluarga. Tapi aku tidak mau. Aku ingin bekerja di perusahaan multinasional yang selama ini kudambakan. Selain itu, aku punya plan B. Plan B-nya adalah, membuka usaha sendiri. Aku ingin sukses dengan usahaku sendiri. Bukan karena kekayaan orang tuaku.”
Prinsip yang bagus sekali. Gadis itu sangat menyukainya. Perlahan senyumannya merekah. Ia pasti mensupport langkah yang diambil sepupunya.
“Anton, kata-kata adalah cerminan jiwa. Aku bisa melihat prinsipmu begitu kuat, dan kamu selalu berusaha untuk mandiri. Aku suka itu...suka sekali.” Pujinya hangat.
Menghela nafas sejenak, ia melontarkan pertanyaan. “So, bagaimana dengan permintaanku? Tidakkah kamu ingin menikahi Sarah?”
“Sarah...?” Adik kandung Larissa itu terlihat ragu. Menggantung kalimatnya. Segan menyebut nama gadis pilihan sepupunya.
“Kamu yakin ingin melihatku menikah dengan Sarah?”
“Seratus persen. Kalian pasangan yang serasi. Aku ingin melihat dua orang yang kusayangi bahagia. Kamu dan Sarah bisa menikah. Sebab kalian sepupu jauh, tidak punya ikatan darah secara langsung.”
“Iya betul. Aku dan Sarah memang bisa menikah. Aku tidak menginginkan Sarah. Tapi...kamulah yang kuinginkan.”
Semenit. Tiga menit. Lima menit. Sepuluh menit, gadis itu terdiam. Meresapi kata-kata sang sepupu di pikirannya. Mengapa situasinya justru berbalik seperti ini? Ini tidak sesuai dengan rencananya.
Anton dan Albert. Kesekian kalinya, ia teringat sosok itu. Dua pria itu memiliki beberapa kesamaan. Sama-sama punya nama berawalan huruf A, lahir 29 tahun lalu, dan pernah memberikan sentuhan kasih untuknya. Sentuhan kasih sayang, bermaksud untuk menguatkan dan memberikan spirit. Meski demikian, dua pria itu jelas-jelas memiliki status sosial yang berbeda.
“Kamu menginginkanku?” Si gadis memastikan, menggigiti bibirnya. Hingga bibirnya terasa pedih dan berdarah.
“Ya. Maukah kamu mencintaiku lagi? Seperti waktu itu? Bukankah cinta masa kecilmu adalah aku? Aku telah mengenalmu sejak kecil...kau tahu itu.”
Suara barithon itu semakin lembut. Wangi Tommy Hilfiger dari tubuhnya membius hati gadis itu. Dengan gugup, ia memainkan ujung rambut panjangnya. Rambut yang membuatnya terlihat berbeda dengan teman-teman perempuannya yang lain. Bagaimana tidak, hanya ia sendiri yang memilih memanjangkan rambut dan memakai dress. Sedangkan teman-temannya lebih suka memakai jeans dan memendekkan rambut mereka.
“Kenapa kamu menginginkanku, Anton? Apa yang kamu harapkan dariku? Aku tidak bisa memberikan apa yang diharapkan pria dari wanita. Aku bahkan tidak bisa melayani kamu. Mmakanya aku tidak pernah percaya saat ada pria yang mengatakan cinta padaku. Memangnya mereka masih akan mencintaiku jika tahu bagaimana diriku yang sebenarnya?” ujar gadis itu sedih. Mengungkap alasannya membiarkan diri tenggelam dalam kesepian dan luka hati yang begitu dalam.
“Tapi...”
“Okey, bisa dikatakan kamulah cinta pertamaku. Tapi aku tidak bisa memberikan hatiku padamu. Hatiku sudah menjadi milik orang lain.”
Adik kandung Larissa itu mengangkat alisnya. “Milik biarawan itu, ya?”
Tertangkap nada dingin dan ketidaksukaan dalam suaranya saat mengucapkan kata biarawan itu.
“Tanpa kujawab pun, kamu sudah tahu. Dari pada mengharapkanku, lebih baik kamu segera nikahi Sarah. Dia lebih pantas untukmu.”
Si gadis berbalik. Melangkah pergi. Dagunya terangkat ke atas. Wajahnya nyaris tanpa ekspresi. Nuraninya terus membisikkan kata maaf. Jika sepupunya mengharapkan ia mencintainya lagi, justru ia menaruh harapan yang sama pada sosok yang lain. Bisakah waktu diputar kembali? Dan sosok itu bersikap sehangat, selembut, dan sesabar dulu lagi? Bisakah sosok yang lain itu mencintainya lagi?
“Tunggu! Dengarkan aku dulu!/”
Ternyata, adik kandung Larissa itu tak menyerah. Ia bersungguh-sungguh memohon hal itu. Mau tak mau si gadis menghentikan langkah. Menatap nanar wajah sepupunya.
“Sudahlah, Anton. Nikahilah Sarah. Jika kamu benar-benar menyayangiku, lakukan itu. Penuhi permintaanku.” Ucapnya letih. Ya, ia benar-benar letih kali ini. Tak punya cukup energi lagi untuk menghadapi kesepian, luka, dan kekecewaan lain.
“Bagaimana jika aku tak mau?” Anton berkeras.
“Berarti kamu tidak memahamiku. Sama seperti mantan Frater yang pernah menipuku, seorang Pater yang sudah membuatku sakit hati entah sengaja atau tidak, senior cantik yang sudah ingkar janji padaku, dan orang-orang lainnya yang menyakitiku. Ayolah, Anton. Tinggalkan aku dan nikahi Sarah. Biarkan aku menghadapi kesedihan ini sendirian.”
Semuanya telah berakhir. Menurutnya, inilah yang terbaik. Tak bisa lagi cinta terulang lagi seperti dulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H