Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Orang Tua Menikah Lagi, Bagaimana Reaksi Anak?

25 Februari 2017   07:54 Diperbarui: 4 April 2017   16:14 18768
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin saya menerima curahan hati seorang gadis. Gadis itu, sebut saja namanya Cinta, bersedih karena ibunya ingin menikah lagi. Banyak pria mendekati ibunya dan mengajaknya menikah. Sang ibu sudah lama berpisah dengan ayahnya karena perceraian. Cinta tidak ingin ibunya menikah lagi. Ia bahkan mengancam tidak akan pulang ke rumah. Sang ibu sedih dan berdilema. 

Di satu sisi ia membutuhkan teman hidup yang bisa membahagiakannya. Di sisi lain, ia memikirkan perasaan Cinta. Bagi sang ibu, Cinta adalah segalanya. Satu-satunya harta miliknya yang paling berharga. Menurut Cinta, semua pria sama. Hanya bisa menyakiti dan membuat wanita menangis. Cinta tidak mau ibunya disakiti lagi. Selain itu, Cinta ingin memiliki ibunya seutuhnya. Cinta takkan pernah membiarkan ibunya bahagia dengan orang lain. Ada rasa takut di hatinya. Takut bila perhatian dan kasih sayang ibunya terbagi. Takut bila ibunya sudah tidak menyayanginya lagi. Ketakutan terbesar lainnya adalah kelak ayah tirinya akan berbuat jahat pada Cinta dan ibunya. Mendengar curahan hati Cinta, saya merenung. 

Saya coba lihat masalah ini dari dua sudut pandang. Sudut pandang Cinta dan sudut pandang ibunya. Jika dilihat dari sudut pandang Cinta, semua alasan itu rasional. Cinta hanya ingin hidup bersama ibunya tanpa adanya pihak ketiga yang masuk dalam kehidupan mereka. Saya mulai berpikir-pikir. Jika saya jadi Cinta, tentu akan berat sekali melihat Mama menikah lagi jika terjadi sesuatu yang membuat Mama dan Papa berpisah. Jangankan menikah lagi, melihat Mama didekati pria lain saja saya marah. Dulu saya sering menyaksikan Mama didekati pria lain meski sudah menikah dengan Papa. 

Saya kesal dan benci pada pria-pria itu. Kenapa saya bisa tahu? Pasalnya, saya tahu siapa teman-teman Mama dan Papa. Mereka sering mengajak saya dalam acara-acara kantor dan semacamnya. Sehingga saya tahu siapa saja teman Mama dan Papa. Seiring berjalannya waktu, saya sadar. Mama juga berhak mempunyai teman pria. Teman yang bisa diajak berbagi. Teman pria yang sepemikiran dan mempunyai latar belakang yang sama. Mengingat Mama dan Papa memiliki sifat dan latar belakang yang sangat berbeda. Bahkan ada yang menjuluki Mama-Papa saya seperti langit dan bumi. 

Sangat kontras. Pantaskah langit dan bumi bersatu? Begitu kata mereka. Begitu pun ketika Papa yang pendiam, polos, lugu, dan dingin itu ternyata punya wanita idaman lain. Kejadiannya 10 tahun lalu, saat saya kelas 5 Elementary School. Jelas saya benci wanita itu. Namun, sekali lagi saya lihat keadaannya dari sudut pandang Papa. Mungkin Papa lelah terus-menerus berada di bawah bayang-bayang Mama. Maka, Papa mencari tempat menumpahkan perasaan, tak lain teman kantornya sendiri. Melalui bahan perenungan itu, saya mencoba meluruskan jalan pikiran Cinta. Memintanya melihat kasus ini dari sudut pandang ibunya. Saya melukiskan kondisi psikologis ibunya. Ibu Cinta seorang single parent. 

Selama bertahun-tahun, ia sendirian membesarkan anaknya. Perjuangannya cukup berat, hanya ia jalani sendirian. Alam bawah sadarnya merasakan kesepian yang begitu besar. Sekali pun ia tidak mengungkapkannya secara langsung. Biar bagaimana pun, ibu Cinta membutuhkan pendamping hidup. Membutuhkan perlindungan dan kasih sayang dari seorang pria. Ibu Cinta berhak bahagia. Saya berikan semua pengertian itu pada Cinta. Finally...usaha saya berhasil. Cinta sadar. Hatinya melembut. Ia sudah mengizinkan ibunya menikah lagi. Saya bersyukur dan bahagia. Orang tua yang berpisah karena perceraian atau kematian memang menyedihkan. Baik anak maupun orang tua yang ditinggalkan merasakan kesedihan mendalam. Bukan hanya kesedihan, mereka pun kehilangan. Bertahun-tahun mereka terbiasa memiliki keluarga yang lengkap dan bahagia. Tetiba saja, salah satu dari mereka pergi untuk selamanya. Bagi orang tua, ini perlu penyesuaian yang berat. Mereka harus menerima kepergian pasangan hidup dengan tegar sekaligus menguatkan anak mereka. Hidup harus tetap berlanjut setelah kepergian ayah atau ibu. Alhasil, orang tua yang ditinggalkan akan menjadi single parent. 

Menjadi ayah atau ibu tunggal tidak mudah. Butuh perjuangan, ketekunan, dan kesabaran ekstra. Mereka juga dituntut untuk tegar dan kuat. Mereka membesarkan anak sendirian tanpa didampingi pasangan hidup. Saat kesepian memuncak, saat kesedihan begitu menyiksa, terlintas di benak orang tua untuk menikah lagi. Orang tua ingin mencari pasangan yang dapat menemani di sisa hidupnya. Mereka ingin mencarikan orang tua baru untuk anaknya. Itulah tujuan orang tua ingin menikah lagi. Bagi anak, kehilangan orang tua merupakan sebuah pukulan berat. 

Mereka harus menerima kenyataan bahwa orang tua mereka tak lagi lengkap. Mereka melihat perjuangan ayah atau ibunya menjadi single parent. Melihat semua itu, mereka bertekad membahagiakan orang tuanya. Meski demikian, anak akan kesulitan menerima saat orang tua ingin menikah lagi. Ada rasa marah di dalam hati. Mereka kesal dan bertanya-tanya. Mengapa orang tuanya ingin menggeser posisi pasangan hidupnya yang telah pergi dengan orang lain? Anak tidak semudah itu menerima kehadiran orang lain dalam kehidupan mereka. Terlebih jika orang itu menjadi bagian dari keluarganya. 

Dalam kasus-kasus tertentu, ada anak yang dengan keras melarang orang tuanya menikah lagi. Bahkan ada yang mengancam, nekat berbuat sesuatu yang membahayakan dirinya, dan kabur dari rumah. Anak takut orang tuanya tidak sesayang dan seperhatian dulu setelah menikah lagi. Anak takut kasih sayang orang tuanya terbagi. Dikhawatirkan, ayah/ibu barunya akan merebut perhatian orang tuanya. Rasa takut dan sedih memang wajar. 

Akan tetapi, semua itu bisa diantisipasi. Sebagai anak, apa yang harus dilakukan saat orang tua menikah lagi? 1. Lihat dari sudut pandang orang tua Posisikan diri kita sebagai orang tua. Bagaimana kalau kita yang mengalami semua itu? Ditinggalkan pasangan hidup, harus membesarkan anak sendirian, dan merasakan kesepian? Orang tua rindu menjalin hubungan dengan seseorang yang dicintai. 

Orang tua membutuhkan teman hidup yang mengerti dirinya dan bisa membuatnya nyaman. Sebagai anak, akankah kita membiarkan orang tua kita sedih? 2. Saling pengertian antara anak dan orang tua Ada baiknya anak dan orang tua berbicara dari hati ke hati. Saling mengungkapkan pikiran dan perasaan. Saling mengungkapkan keinginan masing-masing. Dengan begitu, anak mengerti perasaan orang tua. Orang tua mengerti perasaan anak. Bila pemahaman satu sama lain telah tercipta, segalanya akan lebih mudah. 3. Orang tua yang telah pergi takkan terganti, orang tua baru harus dihormati Hadirnya orang tua baru di rumah bukan berarti mutlak sebagai pengganti orang tua yang telah pergi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun