Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Orang yang Disayangi Meninggal, Ikhlaskanlah

21 Februari 2017   14:58 Diperbarui: 21 Februari 2017   15:07 24793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jodoh, rezeki, dan maut telah diatur Tuhan. Jika dianalogikan, dunia ibarat ruang tunggu. Kehidupan hanya sementara. Cepat atau lambat, kematian akan menghampiri tiap makhluk yang bernyawa.

Tak mudah merelakan kematian orang yang dicintai dan disayangi. Jalan satu-satunya adalah ikhlas. Agar jalan mereka di alam kubur tak terhalangi dan mereka bisa beristirahat dengan tenang.

Minggu lalu, saya kembali kehilangan orang yang saya sayangi. Kali ini teman saya dari Komunitas Bisa. Saya biasa memanggilnya Mas Gandhi. Dia menghembuskan nafas terakhirnya setelah berjuang melawan Limfoma, kanker getah bening.

Sebelumnya, saya bahas sedikit tentang Komunitas Bisa. Komunitas Bisa merupakan akronim dari Bangkitkan Inspirasi Anak Bangsa. Pembentukannya diilhami oleh Kelas Inspirasi. Mungkin Kompasianer pernah dengar tentang Kelas Inspirasi? Gerakan para profesional muda yang digagas dari Indonesia Mengajar. Para profesional muda itu turun ke sejumlah SD untuk memotivasi dan memperkenalkan profesi mereka pada anak-anak. Nah, Komunitas Bisa ini mempunyai agenda kegiatan yang mirip dengan Kelas Inspirasi. Namanya Hari Berbagi. Kami cuti satu hari dari segala kesibukan dan rutinitas, lalu mendatangi sekolah terpencil di wilayah Bandung untuk mengajar serta memotivasi para murid di sana.

Saya mengenal Mas Gandhi setahun lalu. Tepatnya sejak bergabung di Komunitas Bisa. Ia pria sukses dan mapan dalam usia muda. Kemahirannya dalam public speaking membuatnya ditunjuk sebagai MC. Lebih istimewa lagi, ternyata Mas Gandhi pernah mengikuti Mojang Jajaka. Alhasil kami duduk bersama sepanjang brieffing dan waktu istirahat sambil membicarakan dunia pageants dan pemilihan duta.

Saya mengenal Mas Gandhi sebagai pribadi yang baik hati, berbakat, dan penuh perhatian. Sifat ceria dan humorisnya membuat ia mudah akrab dengan siapa saja. Salah satu hobinya adalah traveling. Saya suka itu.

Di balik keceriaannya, tersimpan kisah sedih. Saya tahu jika ia pernah menikah dan pernikahannya berakhir dengan perceraian. Iba dan tersentuh hati saya mendengarnya. Siapa wanita yang telah menyia-nyiakan cinta dari pria sebaik itu?

Ketika mendengar kabar sakitnya Mas Gandhi, terus terang saya tak percaya. Benarkah pria seceria dan seenerjik itu bisa sakit? Terlebih bukan penyakit biasa yang dideritanya. Saya berdoa agar Tuhan menyembuhkannya, meringankan penyakitnya, dan membahagiakannya.

Di sela aktivitas doa, sebersit firasat muncul di hati kecil saya. Firasat bahwa dia akan sembuh, penyakitnya akan diangkat, namun dengan cara lain. Saya kebingungan. Ingin rasanya mengabaikan pertanda itu, namun tak bisa. Hadirnya firasat itu terlalu kuat. Untuk menutup mata batin pun tak mungkin. Mata batin tak bisa diperintah. Jika Tuhan menghendaki untuk melihat, maka akan diperlihatkan. Jika tidak ya tidak.

Begitu tahu Mas Gandhi sudah tiada, saya sedih. Saya menangis. Lagi-lagi saya kehilangan orang yang saya sayangi. Sejak tahun 2015, berulang kali saya kehilangan orang baik yang tulus dan saya sayangi. Orang baik mungkin banyak, tapi orang baik yang tulus sangat sedikit. Kehilangan ini membuat saya berpikir, siapa lagi yang akan pergi dari hidup saya? Tiap kali kehilangan datang, rasa kesepian dan ketakutan menyergap hati saya. Saya merasa sendiri.

Kehilangan orang yang disayangi memang berat. Namun, akankah kesedihan akibat kehilangan dibiarkan berlarut-larut? Tidakkah itu akan menyulitkan orang yang kita sayangi di dalam kuburnya? Apa yang harus kita lakukan untuk mengikhlaskannya? Mengikhlaskan orang yang sudah meninggal tak mudah. Butuh proses yang panjang. Akan tetapi bukan berarti tidak bisa sama sekali.

1. Membuka diri dan mencurahkan rasa sedih pada orang lain

Berat menyimpan rasa sedih dan kehilangan sendirian. Ungkapkan saja pada orang-orang terdekat. Setidaknya, perasaan kita lebih tenang. Mereka pun bisa menguatkan kita. Membantu kita melewati fase menyakitkan itu. Jangan biarkan beban kesedihan itu menumpuk tanpa dibagi pada siapa pun.

2. Mengenang kebaikan orang yang telah meninggal

In memoriam, mengenang seseorang yang sudah meninggal. Kenanglah semua kebaikannya. Jadikan perbuatan-perbuatan baiknya sebagai pelajaran hidup yang berharga. Ingatlah kesan baik selama hidupnya. Mengenang segala kebaikan orang yang sudah meninggal akan membantu kita untuk terus mengingat sekaligus mengikhlaskannya.

3. Berbaik sangka pada Tuhan

Inilah yang sering kita lupakan. Dalam kesedihan yang memuncak, sering kita menyalahkan Tuhan. Menganggap Tuhan tidak adil karena mengambil orang yang kita sayangi. Mulai sekarang, jauhkanlah prasangka buruk pada Tuhan. Berpikirlah positif. Yakinkan diri kita bahwa Tuhan punya rencana yang terbaik. Percayalah bahwa Tuhan telah mengatur segalanya yang terbaik untuk kita semua.

4. Mengalihkan rasa sedih dengan doa

Rasa sedih bisa dialihkan. Rasa kehilangan bisa dinetralisir. Caranya dengan berdoa. Doakanlah orang yang sudah meninggal agar mendapat tempat terbaik di sisi-Nya. Doakanlah ketenangan dan kebahagiaan mereka yang sudah meninggal di alam sana. Jangan pernah lupa untuk mendoakannya di setiap kesempatan. Doa dan pendekatan secara intens pada Tuhan dapat membuat hati kita lebih ikhlas.

Bagi Kompasianer yang pernah merasakan kehilangan orang yang disayangi karena campur tangan maut, siapkah untuk mengikhlaskan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun