Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berkorban Demi Orang Lain: Mengapa Tidak?

5 Februari 2017   10:29 Diperbarui: 5 Februari 2017   10:43 1711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sejak pagi tanggal 3 Februari lalu, saya berada di luar Bandung. Melakukan sesuatu yang sudah direncanakan bersama keluarga besar. Menemani anggota keluarga yang menjalani operasi.

Perjalanan tak bisa dikatakan mulus. Pasalnya di tengah perjalanan saya mengalami kecelakaan kecil yang mengakibatkan lutut saya terluka. Pakaian saya pun robek. Namun itu bukan halangan untuk melanjutkan perjalanan.

Menjelang Maghrib, saya dan Mama tiba di kota kelahiran tempat keluarga besar tinggal. Papa berjanji akan menyusul kami nanti malam. Keluarga besar menyambut kami hangat. Begitu tahu saya terluka, salah seorang sepupu saya memberikan dress cantik denim-nya kepada saya dan menanyakan apakah lukanya telah diobati.

Usai shalat Maghrib dan makan malam, kami bergegas ke rumah sakit. Menjenguk anak pertama dari Almarhumah Eyang Putri yang akan menjalani operasi beberapa jam lagi. Kami menguatkan mentalnya, membesarkan hatinya, dan memintanya berpikiran positif. Kami meyakinkan jika kami akan selalu ada selama proses operasi dan masa pemulihan. Akhirnya ia bisa tenang. Ketika dokter Anestesiologi datang, bahkan ia bisa menjawab semua pertanyaan dan keluhan dengan tenang tanpa sekali pun merasa takut.

Operasi berlangsung cukup lama. Saya dan keluarga besar menunggu dengan sabar di depan ruang operasi. Guna menghilangkan kecemasan, kami mengobrol ringan, berfoto, dan mempostingnya ke group keluarga. Saya memperhatikan Mama begitu akrab dengan anak kelima, tak lain adik bungsunya. Ayah dari Keanu dan Chelsea. Mereka membicarakan soal resign dari kantor, keluarga, pekerjaan baru, bisnis, dan Al-Qur’an. Pasalnya, Mama dan ayah Keanu-Chelsea memiliki motif resign yang sama: demi keluarga.

Dua jam berlalu, operasi berjalan lancar. Tepat pukul sepuluh operasi itu selesai. Kami semua lega dan bersyukur. Kami kembali ke ruang rawat dan menemani dia yang baru selesai operasi. Pssttt...jangan bilang ya? Kami sekeluarga melanggar jam besuk yang ditetapkan pihak rumah sakit.

Keluarga besar sempat gelisah lantaran istri dan anak tunggal dari putra pertama itu tidak datang. Katanya ia tidak bisa menjenguk suaminya. Sebuah keanehan timbul di benak saya. Bagaimana mungkin seorang istri membiarkan suaminya menjalani operasi sendirian?

Kami pun mulai memikirkan siapa yang akan menunggui dia malam ini. Tidak semua anggota keluarga bisa, mengingat keesokan paginya mereka harus bekerja dan punya agenda kesibukan masing-masing. Akhirnya, Mama mengalah. Mama memutuskan menunggui, begitu pun ayah dari Keanu dan Chelsea. Saya pun ingin menemani Mama dan ayah dari Keanu dan Chelsea. Tak tega membiarkan mereka hanya berjaga berdua.

Awalnya keluarga besar sempat ragu-ragu untuk pulang. Mereka bergantian membujuk saya agar menginap di salah satu rumah milik keluarga. Namun semuanya saya tolak. Saya berkeras stay di rumah sakit.

Alhasil, sepanjang malam itu dilewatkan hanya bertiga. Kami berjaga di depan ruang rawat. Sesekali masuk ke dalam untuk mengecek keadaan. Menanyakan pada tim medis berapa lama proses pemulihan.

Sisi positifnya, saya bisa berbincang banyak hal dengan Mama dan ayah Keanu-Chelsea. Melawan rasa dingin dan letih, kami terus berjaga. Waktu bergulir begitu cepat. Pukul dua dini hari, Mama malah dikejutkan dengan munculnya teman lamanya di kantor. Praktis keduanya saling berpelukan dan bertukar cerita. Mama diajak menjenguk suami dari temannya itu yang tengah sakit keras. Saya ditinggal berdua dengan ayah Keanu-Chelsea. Kesempatan itu kami manfaatkan dengan berbicara dari hati ke hati. Berbicara tentang Psikologi, hypnotherapy, dan cinta. Saya bisa bermanja-manja di pelukan ayah Keanu-Chelsea. Secara tidak langsung, pelukan itu membantu saya melawan rasa dingin, sakit di lutut saya, dan rasa takut. Bagaimana tidak, suasana di rumah sakit itu begitu menyeramkan. Ada hal-hal tak kasat mata di seputar bangunan rumah sakit.

Pagi-pagi sekali, sekitar pukul lima, Mama mengajak saya keluar sebentar untuk mencari sarapan. Saya menurut meski lutut saya masih sakit. Saya paksakan untuk melangkah menemani Mama. Kami sarapan di restoran kecil yang katanya enak. Pemiliknya begitu baik pada saya. Sambil menunggu makanan yang dipesan, tanpa sadar saya tertidur sejenak. Si pemilik restoran dengan lembut menawari saya teh hangat. Tentu saja saya menerimanya dengan senang hati. Saat Mama saya meninggalkan saya sebentar untuk mengantarkan makanan pada ayah Keanu-Chelsea, saya dijaga si pemilik restoran yang sangat baik itu.

Kembali ke rumah sakit, ternyata ayah Keanu-Chelsea sudah memandikan dan membersihkan tubuh anak pertama. Selama menjalani perawatan, tugas itu dilakukan sepenuh hati olehnya. Dia sendiri yang meminta ayah Keanu-Chelsea yang melakukannya. Mungkin karena rasa nyaman dan perlakuan ayah Keanu-Chelsea yang begitu lembut.

Papa ternyata tak juga datang. Kami digantikan oleh anggota keluarga yang lain. Ayah Keanu-Chelsea mengantar saya ke rumah sepupu dengan mobilnya dan membujuk saya beristirahat.

Pagi ini, ketika saya sudah kembali ke Bandung dan segalanya sudah kembali seperti semula, saya memperoleh pelajaran berharga. Berkorban demi orang lain. Sebenarnya, tanggal 3 dan 4 kemarin, saya saya ada agenda rapat dengan alumni almamater dan acara lain. Namun saya batalkan demi anggota keluarga yang sedang sakit. Rezeki dan kesempatan ada dimana-mana. Saya yakin, keadaan orang lain jauh lebih layak diprioritaskan dari pada kepentingan saya sendiri. Entah, ada rasa bahagia tiap kali berkorban untuk orang lain, khususnya orang-orang yang saya cintai dan sayangi. Saya senang tiap kali melakukannya. Dibandingkan mementingkan urusan pribadi, lebih baik waktu saya berikan untuk orang lain yang membutuhkan perhatian, support, dan bantuan.

Tak hanya itu, saya lihat pengorbanan Mama dan ayah Keanu-Chelsea begitu besar. Mama mengorbankan seluruh waktu istirahatnya dan mengesampingkan sejenak urusan pribadinya. Ayah Keanu-Chelsea mengorbankan waktu kebersamaannya dengan Keanu dan Chelsea. Kedua anak itu memang sangat dekat dengan ayahnya. Kata orang-orang serumah, Keanu dan Chelsea belum tidur sampai tengah malam. Mereka terus menanyakan ayahnya. Berbeda dengan Papa yang tidak melewatkan satu menit pun di rumah sakit. Sibuk dengan urusannya sendiri. Alhasil, Mama menegurnya dalam perjalanan pulang.

Mencermati cerita di atas, ada poin berharga yang dapat dijadikan pelajaran. Hidup tidak hanya untuk memikirkan diri sendiri. Ada saatnya kita memikirkan orang lain. Orang lain membutuhkan kita, mengapa kita tidak bisa membantu?

Berkorban tidak harus berupa materi. Ada banyak cara untuk berkorban demi orang lain. Misalnya mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mereka. Mengalah sejenak demi orang lain. Mendahulukan kepentingan orang lain dibandingkan kepentingan pribadi. Melepaskan pekerjaan dan berganti dengan pekerjaan baru demi keluarga dan orang yang dicintai. Menyisihkan sebagian waktu untuk memperhatikan orang lain dan memberi support. Menyembunyikan rasa terganggu, marah, kesal, kecewa, dan sakit hati agar tidak menyakiti orang lain. Sebab, pernyataan terganggu, kemarahan, dan emosi negatif lainnya rentan membuat hati seseorang tersakiti.

Itu semua bisa menjadi bentuk pengorbanan. Kita belajar mengesampingkan ego dan berbalik memperhatikan keadaan orang lain yang membutuhkan kita.

Terkadang, kita merasa bila hidup dan permasalahan yang dihadapi begitu berat. Urusan pribadi terlalu penting dan urgen. Sampai-sampai kita melupakan dimensi kebaikan. Lupa menyisihkan waktu untuk amal, kebaikan, dan pengorbanan. Banyaknya kepentingan pribadi dan beratnya problem dalam hidup membuat seseorang melupakan sisi kebaikan dalam dirinya.

Jika kita melihat dari sudut pandang berbeda, maka kita bisa melihat bahwa diperlukan keseimbangan dalam hidup. Ada waktu untuk diri sendiri, ada pula waktu untuk orang lain. Saat titik keseimbangan dalam hidup tercapai, dalam arti kita punya space yang adil untuk diri sendiri dan orang lain, barulah kita mencapai hidup yang ideal dan sempurna.

Namun tidak ada kata terlambat untuk berubah. Kebaikan dan pengorbanan bisa dilakukan kapan saja, dimana saja. Besar-kecilnya pengorbanan dan kebaikan tidak diukur oleh kita, tapi oleh Tuhan. Tuhan yang akan memberikan pahala dan balasan terindah-Nya untuk kita. Setiap kebaikan akan dibalas dengan kebaikan pula. Sekecil apa pun itu.

So, siapkah untuk berkorban demi orang lain?

Bandung, 5 Februari 2017.

Yang terluka lututnya, tapi bahagia karena bisa berbuat untuk orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun