Mohon tunggu...
Latifah Ayu Kusuma
Latifah Ayu Kusuma Mohon Tunggu... Lainnya - Copywriter

Local Traveller

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ayo Dukung Hak Pekerja Rumahan Menjadi Nyata!

17 Oktober 2018   23:24 Diperbarui: 17 Oktober 2018   23:46 695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Saya ingin pekerja rumahan diakui sebagai pekerja. Saya ingin hak kami sebagai pekerja diakui dan saya ingin kontrak tertulis antara kami dan pemberi kerja kami," kata Ida Fitriani (47), salah satu mitra asal Semarang dalam pelaksanaan Proyek ILO/MAMPU-Akses ke Ketenagakerjaan dan Pekerjaan Layak untuk Perempuan yang didanai oleh Pemerintah Australia.

Pernyataan Ida tersebut mengungkapkan sebagian dari realita di balik dunia pekerja rumahan. Lantas, apa yang dimaksud dengan pekerja rumahan? Pekerja rumahan yang biasa disebut pekerja sub-kontrak seringkali rancu dengan pekerja rumah tangga. Pekerja rumah tangga adalah pekerjaan mengurus rumah tangga, misalnya memasak, muncuci, menyapu, dan lain-lain. 

Sementara pekerja rumahan (ILO Convention on Home Work No.177 Tahun 1996 di Kantor Perburuhan Internasional, Jenewa) didefinisikan sebagai pekerjaan yang dilaksanakan oleh seseorang, yang disebut sebagai pekerja rumahan: (i) di rumahnya atau di tempat lain pilihannya, selain tempat kerja pemberi kerja (ii) untuk mendapatkan upah (iii) yang menghasilkan suatu produk atau jasa sebagaimana ditetapkan oleh pemberi kerja, terlepas dari siapa yang menyediakan peralatan, bahan atau input lain yang digunakan. 

Dengan kata lain pekerja rumahan adalah tenaga kerja suatu perusahaan yang mengerjakan tugasnya di rumah masing-masing. Biasanya mereka mendapat upah dengan sistem borongan (dihitung dari jumlah pekerjaan yang dapat diselesaikan).

Proyek ILO-Mampu
Proyek ILO-Mampu
Pekerja rumahan dapat ditemukan di berbagai sektor industri, misalnya pengolahan makanan, tekstil, pakaian, dan kerajinan. Klasifikasi pekerja rumahan terbagi dalam 2 bentuk, yaitu bersifat tradisional (menjahit, mengemas, menenun, membuat kerajinan, penata rias, dll) dan modern (pengetikan, data entry, konsultan, penulis, programmer, dll). Beberapa di antara pekerja tersebut adalah penyandang disabilitas. Mereka masuk sebagai pekerja rumahan melalui jaringan sosial (teman, keluarga, tetangga).

Meski keberadaannya sudah cukup lama, para pekerja rumahan belum mendapat perhatian khusus dari pengambil kebijakan, pengusaha, serikat pekerja dan masyarakat umum. Bahkan identitasnya tidak tercantum di statistik resmi dan undang-undang ketenagakerjaan.

Proyek ILO-Mampu
Proyek ILO-Mampu
Berikut upaya yang dapat dilakukan oleh stakeholder terkait dalam rangka meningkatkan kesejahteraan pekerja rumahan:

1. Memenuhi Hak Dasar Pekerja Rumahan

  • Kontrak Kerja

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh ILO-Mampu, sebagian besar pekerja rumahan tidak memiliki kontrak kerja tertulis. 47% dari total sampel penelitian mengaku hanya mengandalkan perjanjian lisan. 

Hal ini seharusnya ditinjau ulang oleh pihak pemerintah (dinas Ketenagakerjaan) agar pemberi kerja tidak berlaku sewenang-wenang terhadap hak pekerja rumahan. Sementara pekerja rumahan juga lebih tenang dengan perjanjian tertulis yang akan menunjukkan "status" mereka sebagai pekerja yanag patut dihargai.

  • Perlakuan Setara dan Non-diskriminatif

Pekerja rumahan (home based workers) menjadi salah satu contoh konkrit adanya pola relasi yang dibangun di bawah naungan kaum kapitalis yang notabene beridiologi patrirkhi dengan segala atributnya. 

Dengan membawa pulang ke rumah pekerjaan yang diberikan oleh juragannya, menjadikan apa yang dikerjakan oleh mereka bukan dianggap pekerjaan. Karena bisa dilakukan dengan "nyambi" tanpa harus mengganggu pekerjaan rumah tangga lainnya. Sektor ini dalam prakteknya lebih merupakan instrumen kekuasaan dalam ekstraksi politik perusahaan atau pengusaha. (Sofiani, 2010)

Lebih dari 80% pekerja rumahan merupakan perempuan yang sudah menikah dengan keterampilan minim. Pada umumnya suami mereka memiliki pekerjaan lepas jangka pendek (tidak tetap). Meski perempuan dianggap tak berdaya dan lemah, kaum kapitalis pemberi kerja tidak pantas mendiskriminasi kemampuan mereka dalam bekerja.

  • Kebebasan Berorganisasi dan Membuat Kesepakatan Kerja Bersama

Program MAMPU (Maju Perempuan Indonesia untuk Penanggulangan Kemiskinan) mendukung peningkatan akses perempuan terhadap pekerjaan, khususnya Perempuan Pekerja Rumahan, dengan melakukan kerjasama dengan Mitra Wanita Pekerja Rumahan Indonesia (MWPRI) di Malang, Yayasan Bitra Indonesia di Medan, Trade Union Right Center (TURC) di Jakarta dan Yayasan Annisa Swasti (YASANTI) di Yogyakarta untuk melakukan pengorganisasian, penguatan dan advokasi untuk Pekerja Rumahan sejak tahun 2013 sampai sekarang. 

Hasil dari kegiatan untuk pekerja rumahan ini adalah terdata dan terbentuknya organisasi pekerja rumahan di Indonesia, khususnya di 7 Provinsi di Indonesia. Saat ini, terhitung sebanyak 4.778 orang pekerja rumahan di tujuh provinsi tersebut yang sudah dijangkau oleh jaringan mitra Pekerja Rumahan.

Talkshow program radio Ruang Publik KBR (www.krjogja.com)
Talkshow program radio Ruang Publik KBR (www.krjogja.com)
Dari hasil talkshowprogram radio Ruang Publik KBR #2 pada laman facebook Kantor Berita Radio-KBR yang berjudul "Kami Pekerja Rumahan, Ada dan Berdaya", pekerja rumahan dapat berkumpul dalam suatu organisasi untuk memperjuangkan kepentingan dan hak mereka secara kolektif. 

Studi kasus di Bantul, Yogyakarta, mengantarkan ibu Warisah yang awalnya hanya pekerja rumahan menjadi ketua Federasi Perempuan Pekerja Rumahan kabupaten Bantul tahun 2016. 

Kemudian kini beliau menjadi ketua federasi di tingkat nasional. Hal ini mengindikasikan bahwa kerja sama antar pekerja akan "meluluhkan" pemerintah untuk memberikan perhatian yang lebih.

  • Upah

Besaran upah per satuan sebagian besar pekerja rumahan ditentukan oleh pemberi kerja mereka tanpa perundingan. Terlebih jika pesanan kerja tidak stabil (freelance), pekerja rumahan akan lebih sulit mendapatkan pemasukan. 

Para pekerja pun menerima dengan alasan takut kehilangan pekerjaan dan takut bersaing dengan pekerja lain. Hal ini mengakibatkan pekerja rumahan berada dalam posisi tawar yang rendah. 

Oleh karena itu pemerintah dapat mengimplikasikan undang-undang (termasuk soal upah), misalnya tentang penetapan upah minimum bagi pekerja rumahan. Pemberi kerja juga harus menjelaskan sistem upah dan menghindari keterlambatan pembayaran.

  • Jam Kerja

Ketentuan umum jam kerja adalah 40 jam seminggu sehingga pekerja tidak boleh mengerjakan pesanan melebihi waktu yang telah ditentukan, kecuali ada kesepakatan lembur antara pekerja dan pemberi kerja. Namun pekerja memiliki hak menolah lembur jika hal itu dirasa memberatkan.

  • Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Untuk menghindari risiko kecelakaan kerja, para pemberi kerja harus memberikan tools yang menunjang keselamatan saat bekerja.

  • Perlindungan dan Jaminan Sosial

Pasal 99 UU Ketenagakerjaan No.13/2003 menyatakan bahwa semua pekerja berhak atas jaminan sosial, namun saat ini belum ada peraturan fleksibel yang secara memadai mendukung pekerja musiman atau pekerja lepas untuk memastikan hak ini. 

Selain itu, hanya 1 dari 4 karyawan upahan reguler di sektor formal yang saat ini aktif memberikan kontribusi untuk program-program seperti dana pensiun dan dana tabungan hari tua. (BPJS, 2014)

Saat ini cakupan perlindungan tenaga kerja masih rendah, hanya 1 dari setiap 30 pekerja rumahan yang telah mendapatkan akses asuransi (Penelitian ILO-Mampu). Bukan tak beralasan, rendahnya tingkat kesadaran jaminan pekerja terjadi karena mayoritas kontrak antar kedua belah pihak bersifat informal dan sementara (jangka pendek).

  • Usia Minimum

Anak-anak yang berusia 13-15 tahun diperbolehkan melakukan pekerjaan ringan yang tidak mengganggu pekerjaan fisik, mental, dan sosial dengan durasi kurang dari atau sama dengan 3 jam dalam sehari. Pemberi kerja harus memastikan pekerjaan tersebut berada dalam batas wajar untuk anak-anak.

2. Pendampingan dan Pelatihan

Untuk meningkatkan daya kerja, pemerintah (dinas Ketenagakerjaan) dan perusahaan harus memberikan pelatihan terkait dengan keselamatan kerja, leadership skill, negotiation skill, melek finansial, pembentukan manajemen kelompok, dan keterampilan advokasi.

3. Pengumpulan dan Publikasi Data Statistik Tentang Pekerja Rumahan

Pemerintah dan perusahaan yang menaungi pekerja rumahan dapat mengumpulkan data secara berkala untuk mulai memberikan perhatian bagi pekerja. Data resmi tersebut bisa digunakan untuk mengambil kebijakan selanjutnya, bahkan penyusunan Undang-undang khusus pekerja rumahan di Indonesia.

Proyek ILO-Mampu
Proyek ILO-Mampu
References:

1. BPJS Ketenagakerjaan. 2014. Laporan Tahunan. Jakarta: BPJS Ketenagakerjaan

2. Sofiani, Triana. 2010. Eksistensi Perempuan Pekerja Rumahan Dalam Konstelasi Relasi Gender. Muwazah. Vol.2 No.1

3. mampu.or.id Diakses pada tanggal 30 September 2018 pada pukul 10.30 WIB.

4. Kisah-kisah Proyek Penelitian ILO-Mampu dan Australia Aid 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun