pasukan salah satunya di Pelabuhan Panjang. Mengetahui berita tersebut, K.H. Gholib beserta pasukan segera mengatur strategi.Â
Demi menghambat pergerakan tentara lawan, ia memerintahkan pasukannya untuk menghancurkan jembatan Bulok Karto (Bulok). Upaya tersebut cukup efektif, terbukti dengan pasukan yang kala itu membutuhkan waktu lebih lama untuk memasuki wilayah Pringsewu. Bala tentara musuh harus berputar arah melalui Gedong Tataan, Kedondong, dan Pagelaran.
Di sisi mengirim pasukan tempur di darat, penjajah juga memborbardir tempat-tempat yang diduga sebagai basis pertahanan pejuang Indonesia dengan hujan peluru melalui udara. Melihat keadaan yang semakin tidak terkendali dan banyaknya korban tewas, K.H. Gholib dan  pasukannya memutuskan mengungsi ke hutan-hutan yang kala itu masih lebat dan rapat di daerah Gedong Tataan, Kedondong, Gading Rejo, dan Pringsewu. Â
Pada masa Agresi Militer Belanda II inilah pesantren dam masjid Jami K.H. Gholib berperan penting dan menjadi saksi bisu sejarah yang masih berdiri hingga saat ini. Kala itu, pesantren K.H. Gholib menjadi basis TRI yang beranggotakan Kapten Alamsyah, Ratu Prawiranegara dan Mayor Effendy. Di sini juga puluhan ulama berkumpul untuk membahas bagaimana hukum perang melawan Belanda dari sudut  pandang Islam.
Melalui hasil musyawarah, diputuskan bahwa perang melawan Belanda untuk  mempertahankan kemerdekaan bersifat fardhu ain. Itulah yang menjadi dasar umat Islam di Pringsewu untuk  melawan Belanda yang hendak kembali menguasai Nusantara dengan segenap jiwa.
Masih di bulan Januari 1949, K.H. Gholib dengan laskarnya menyerang Belanda di  Front Kali Nongko, Kemiling, Tanjungkarang, dipimpin oleh Kapten Alamsyah, Ratu Prawiranegara dengan berjalan kaki selepas melaksanakan sholat  Jumat. Pada waktu itu ternyata serangan tidak mendapat perlawanan karena Belanda telah meninggalkan Kemiling dan pasukan laskar kembali ke markas di Pringsewu.
Namun malang bagi pejuang di Pringsewu, karena tidak lama kemudian pasukan Belanda menyerang dan menduduki kota Pringsewu secara tiba-tiba. Tidak ada perlawanan dari paraÂ
pejuang, mengingat banyaknya korban yang berjatuhan di Pringsewu dan sekitarnya. Tapi upaya Belanda untuk menghabisi nyawa K.H. Gholib kala itu selalu gagal.
Sang Kiai tahu tahu bahwa dirinya menjadi sasaran utama pasukan penjajah. Begitu dedadamnya belanda kepada sosok pemimpin laskar pejuang Pringsewu ini, bahkan selama K.H. Gholib bersembunyi, tentara Belanda tak henti melakukan aksi menyita, merusak, dan menghancurkan harta benda dan aset sang pemimpin umat. Mulai dari rumah, pabrik, sebagian bangunan pondok pesantren, mobil, pabrik tapioka, pabrik  padi, gudang padi dan rotan, poliklinik, tidak luput dari perusakan Belanda.
Melalu kerusuhan itu, pasukan seolah menyampaikan pesan untuk K.H. Gholib agar segera keluar dari persembunyian dan menyerahkan diri saja. Juga sebagai peringatan kepada masyarakat Pringsewu yang selama ini berani melawan kompeni agar memberitahu lokasi pemimpin mereka bersembunyi. Pada masa ini, sahabat karib K.H. Gholib, Ustad M. Nuh, sempat menjadi korban salah sasaran tentara Belanda. Tentara belanda menembak mati sang sahabat karena menduga M. Nuh adalah K.H. Gholib. Â