Muharram adalah bulan pertama dalam penanggalan hijriah. Bulan Muharram bagi orang jawa menyebutnya 'Sasi Suro'. Bulan ini terkenal dengan unsur klenik yang sangat kental. Mulai dari malam satu suro atau malam 1 Muharram nuansa klenik dan mistis sangat terasa.Â
Di berbagai daerah terdapat tradisi untuk menyambut bulan mulia ini. Bahkan tradisi itu sudah dilakukan saat malam satu suro. Seperti di desa Kebonsari, Borobudur, Magelang.
Ziarah
Tradisi ziarah kubur dilakukan pada malam satu Suro atau malam satu Muharram. Di desa ini warga menyambut tahun baru dengan mengaji bersama di masjid sebelum ziarah kubur.
Ziarah kubur juga dilakukan pada hari kesepuluh setelah salat Dzuhur. Ziarah kubur dilakukan secara bersamaan dan dipimpin oleh seorang kyai untuk memimpin doa.
Mayoran
Mayoran atau di desa Kebonsari artinya makan-makan dilakukan pada malam kesepuluh. Makan-makan di sini berarti makan bersama keluarga dengan menu istimewa yang jarang dikonsumsi bersama.
Hal ini dilakukan sebagai bentuk rasa syukur dan membahagiakan keluarga. Karena biasanya masak banyak dan agak istimewa, tradisi ini juga digunakan untuk ajang berbagi masakan atau hidangan dengan sesama. Terlebih kepada mereka yang kekurangan.
Memakai celak
Pada tanggal sepuluh Muharram warga desa menggunakan celak. Penggunaan celak tak hanya sebatas perempuan saja. Namun, lelaki, juga anak-anak.
Memakai celak dipercaya dapat mencegah sakit mata. Jadi tak heran jika pada tanggal ini banyak warga yang memakai celak terutama di mata bagian bawah.
Akan tetapi, mengingat sekarang banyak produk celak yang beredar di pasaran, warga harus pintar-pintar memilih celak yang bagus dan sehat. Agar tujuan dan niat mata menjadi sehat tak salah dan menjadi sakit.
Santunan
Sudah tak asing lagi di telinga kita bahwa bulan Muharram adalah hari rayanya anak yatim. Hal ini dikarenakan banyaknya warga yang berlomba-lomba menyantuni anak yatim. Mereka percaya jika menyantuni anak yatim dan mengusap kepala mereka maka akan mendapatkan pahala yang sangat besar.
Tak hanya itu, pada hari yang sama, warga juga akan menengok orang sakit. kegiatan ini dilaksanakan sewaktu siang selepas salat Dzuhur setelah ziarah kubur. Untuk uang iuran biasanya dikumpulkan secara sukarela. Namun, jika ada yang mau memberikan secara pribadi juga diperbolehkan.
Bubur suro
Salah satu kuliner yang tak bisa lepas di bulan Muharram ini adalah bubur suro. Menurut kisahnya, tentunya ini diwariskan secara turun temurun, bubur suro berasal dari kata Asyura yang artinya sepuluh dalam bahasa Arab. Menurut cerita, konon bubur suro berawal dari 40 hari selamatnya kapal Nabi Nuh dari air bah. Karena bahan makanan hanya sedikit yang tersisa makanya dimasak menjadi satu menjadi bubur suro. Selain kisah tersebut, bubur suro juga dibuat sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan.
Di desa Kebonsari sendiri bubur suro banyak diperjualbelikan pada tanggal sembilan dan sepuluh Muharram. Namun, tak seperti bubur kebanyakan yang siap sewaktu pagi, bubur suro baru bisa dibeli kalau sudah sore. Hal ini disebabkan karena banyaknya warga yang berpuasa asyura sehingga penjual bubur berdagang pada waktu sore mendekati waktu berbuka puasa.
Untuk bahan makan yang biasanya ada dalam bubur suro ialah; bubur dan sayur suro yang isinya terdiri dari; tempe, tahu, buncis, kentang, kacang kedelai, tempe benguk, telur, hingga ayam sesuai selera. Biasanya terdapat variasi bahan untuk memasak bubur dengan cita rasa pekat ini.
Memotong kuku
Tradisi pada tanggal sepuluh Muharram yang terakhir adalah memotong kuku. Dengan kuku yang bersih badan juga sehat. Tak hanya itu islam juga menyunahkan untukÂ
memotong kuku.
Magelang, 30 Juli 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H