Seperti sebuah tradisi dari tahun ke tahun yang terus berulang-ulang dan layaknya lingkaran setan, lonjakan harga bahan pokok seperti tak dapat dihentikan. Bahkan jauh sebelum bulan Ramadan kenaikan bahan pokok sudah mulai terjadi.
Telur yang sempat dijual dengan harga Rp26.000 per kilo pada bulan Februari lalu, nyatanya mulai mengalami kenaikan menjadi Rp27.000, kini naik lagi menjadi Rp29.000. Biasanya kenaikan ini akan terus terjadi hingga menjelang hari raya Idulfitri nanti.
Tak hanya telur saja. Cabai yang juga menjadi salah satu bahan pokok juga mengalami kenaikan harga. Hal ini berimbas ke segala sektor.
Penjual sayur keliling yang biasanya menjual cabai secara eceran dan sedikit-sedikit kini kian membatasi jumlah cabai yang dijualnya. Dalam satu plastik cabai yang seharga Rp3.000 hanya berisi 10 cabai. Tak seperti waktu cabai murah, Rp3.000 sudah bisa membeli cabai yang cukup untuk 3 sampai 4 hari.
Naiknya harga cabai ini sangat disayangkan oleh warga kalangan menengah ke bawah yang gemar makan pedas. Jika cabai melangit otomatis sayur yang dimasak dengan cabai akan dikurangi juga jumlahnya jika tak ingin pengeluaran kian besar.
Keresahan akibat harga bahan pokok yang melonjak juga dikeluhkan oleh Mayem (bukan nama sebenarnya), salah satu warga Desa Kebonsari, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
Dirinya yang hanya berprofesi sebagai buruh pemetik padi saat panen merasa keberatan dengan adanya kenaikan harga pokok.
"Apa-apa sekarang mahal. Padahal mau puasa dan lebaran. Kalau cuma mengandalkan derep mana bisa mencukupi," ujar Mayem.
Di desa ini profesi buruh pemetik padi dilakukan oleh wanita yang kebanyakan sudah lansia. Mereka bukannya tak ingin beristirahat di masa tuanya.
Namun, kebutuhan hidup yang terus mendesak membuat mereka mau tak mau harus bekerja. Apa lagi anak-anak mereka juga mengalami nasib yang sama, kesulitan ekonomi.
Para wanita ini sebenarnya sosok wanita tangguh yang sesungguhnya. Bagaimana tidak? Mereka biasanya pergi ke sawah saat matahari baru terbit dan pulang saat matahari hampir terbenam. Waktu istirahat, salat, dan makan biasanya mereka habiskan di dekat area persawahan atau mushola dekat sawah untuk mengurangi banyaknya tenaga yang dikeluarkan.
Sebenarnya upah beras yang diterima para buruh ini bisa sampai pada musim panen berikutnya. Tergantung yang punya sawah memberi upahnya banyak atau sedikit.
"Kalau baginya murah, ya, lumayan. Tapi kalo upahnya mahal, ya, sama aja," kata Mayem.
Maksud upah murah iyalah pembagian upah dengan perbandingan 6:1. 6 untuk pemilik sawah dan 1 untuk buruh pemetik. Sedang derep atau metik padi yang malah adalah dengan perbandingan 10:1. 10 untuk pemilik sawah, dan 1 untuk pemetik padi.
Jika para wanita pemetik padi itu masih mempunyai suami, mereka tak akan terlalu pusing memikirkan mau masak apa besok. Meski nantinya hanya masak sayuran dari kebun sebab suami mereka hanyalah seorang kuli. Biasanya suami mereka berprofesi sebagai kuli bangunan, tukang kayu, dan tukang membuat batu bata merah.
"Kalau suami enggak kerja, ya, kita masak apa saja yang ketemu di kebun. Bisa pohon talas, daun singkong, rebung, pepaya, atau bisa juga, nangka muda. Apa saja asal bisa untuk lauk makan. Asal sudah ada cabai, bawang-bawangan, minyak, dan teman-temannya. Tapi kalo apa-apa naik seperti sekarang ini juga susah."
Berbeda cerita jika yang memetik padi adalah seorang janda yang tak memiliki pekerjaan selain buruh metik padi, tak jarang mereka akan menjual padi hasil buruhnya untuk membeli kebutuhan pokok lainnya.
Mayem dan wanita pemetik padi lainnya sangat berharap agar harga pangan tetap stabil menjelang puasa dan lebaran yang tinggal beberapa hari lagi.
Oleh: Latifah
***
Magelang, 20 Maret 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H