Para wanita ini sebenarnya sosok wanita tangguh yang sesungguhnya. Bagaimana tidak? Mereka biasanya pergi ke sawah saat matahari baru terbit dan pulang saat matahari hampir terbenam. Waktu istirahat, salat, dan makan biasanya mereka habiskan di dekat area persawahan atau mushola dekat sawah untuk mengurangi banyaknya tenaga yang dikeluarkan.
Sebenarnya upah beras yang diterima para buruh ini bisa sampai pada musim panen berikutnya. Tergantung yang punya sawah memberi upahnya banyak atau sedikit.
"Kalau baginya murah, ya, lumayan. Tapi kalo upahnya mahal, ya, sama aja," kata Mayem.
Maksud upah murah iyalah pembagian upah dengan perbandingan 6:1. 6 untuk pemilik sawah dan 1 untuk buruh pemetik. Sedang derep atau metik padi yang malah adalah dengan perbandingan 10:1. 10 untuk pemilik sawah, dan 1 untuk pemetik padi.
Jika para wanita pemetik padi itu masih mempunyai suami, mereka tak akan terlalu pusing memikirkan mau masak apa besok. Meski nantinya hanya masak sayuran dari kebun sebab suami mereka hanyalah seorang kuli. Biasanya suami mereka berprofesi sebagai kuli bangunan, tukang kayu, dan tukang membuat batu bata merah.
"Kalau suami enggak kerja, ya, kita masak apa saja yang ketemu di kebun. Bisa pohon talas, daun singkong, rebung, pepaya, atau bisa juga, nangka muda. Apa saja asal bisa untuk lauk makan. Asal sudah ada cabai, bawang-bawangan, minyak, dan teman-temannya. Tapi kalo apa-apa naik seperti sekarang ini juga susah."
Berbeda cerita jika yang memetik padi adalah seorang janda yang tak memiliki pekerjaan selain buruh metik padi, tak jarang mereka akan menjual padi hasil buruhnya untuk membeli kebutuhan pokok lainnya.
Mayem dan wanita pemetik padi lainnya sangat berharap agar harga pangan tetap stabil menjelang puasa dan lebaran yang tinggal beberapa hari lagi.
Oleh: Latifah
***
Magelang, 20 Maret 2023