Pembatalan perkawinan yang bertentangan dengan pasal 27 KUH Perdata (BW) karena poligami dapat dituntut oleh orang yang masih berhubungan dengan laki-laki dan perempuan lain karena perkawinan sebelumnya, suami atau istrinya. Jika pembubaran perkawinan yang terdahulu ditentang, terlebih dahulu harus diputuskan apakah perkawinan itu sah atau tidak sah (Pasal 86 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW).
Pada umumnya masyarakat hukum adat Indonesia tidak mengenal lembaga perkawinan karena pada prinsipnya hukum adat tidak menganut syarat-syarat perkawinan yang mensyaratkan persetujuan kedua mempelai, yaitu batas umur. larangan poligami, cerai dari pernikahan berulang dan juga masa tunggu pernikahan.Â
Kita hanya mengetahui pengaruh agama berikut yaitu larangan darah, jenis kelamin, perkawinan dan kekerabatan (keturunan, garis keturunan). Sama halnya dengan hukum agama islam yang jelas mmengikuti asas perkawinan poligami terbatas yang tidak mengenal lembaga pembatalan menikah. Bila didalam rumah tangga tidak rukun maka tidak diajukan ke lembaga pembatalan perkawinan namun langsung menjatuhkan talak.
Tata cara perkawinan yaitu dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman oleh pegawai pencatat menurut masing-masing agamanya, yang dilakukan di depan panitera dengan didampingi oleh dua orang saksi (10 PP no. 9-1975).Â
Menurut agama Islam, perkawinan dilakukan di salah satu tempat di rumah calon mempelai laki-laki atau perempuan, di rumah calon mempelai laki-laki atau perempuan, atau di kantor keagamaan yang dilakukan oleh wali mempelai perempuan. mempelai wanita dengan dua orang saksi dan di hadapan pegawai pencatat nikah.Â
Bagi yang beragama Kristen/Katolik di gereja dan sudah ada pencatat nikah. Begitu pula bagi yang beragama Budha, paling tidak dilakukan di depan altar suci Buddha/Bodhisattva dan juga hadir pencatat nikah. Bagi mereka yang beragama Hindu, sama halnya dengan Brahmana.
Tentang pencatatan perkawinan tidak ada undang-undang tentang upacara perkawinan, semuanya diserahkan kepada orang yang bersangkutan menurut adat dan/atau agamanya. Maka suatu perkawinan dapat dilangsungkan tanpa upacara yang lazim dalam masyarakat, asalkan dilangsungkan dalam suatu upacara perkawinan yang ditentukan oleh undang-undang. Dengan demikian, pelaksanaan upacara perkawinan melibatkan hukum adat dan hukum agama.
Secara umum pelaksanaan upacara perkawinan adat di Indonesia dipengaruhi oleh bentuk dan sistem perkawinan adat setempat dalam hubungannya dengan susunan masyarakat/kekerabatan yang dianut oleh masyarakat tersebut. Upacara perkawinan adat dalam segala bentuk dan cara tersebut biasanya dilakukan dengan cara pertunangan, atau masa penyelesaian kawin belarian, penyampaian lamaran, upacara perkawinan adat, upacara keagamaan dan terakhir kunjungan kedua mempelai kepada orang tuanya.
Jika membandingkan upacara pernikahan secara agama dengan upacara pernikahan adat, maka upacara pernikahan secara agama lebih mudah. Dibandingkan dengan upacara agama Hindu/Budha, Kristen/Katolik dan Islam, upacara pernikahan Muslim lebih sederhana daripada upacara pernikahan Hindu, khususnya Hindu di masyarakat Bali, karena upacara agama dan upacara adat tampaknya tidak dapat dipisahkan. Menurut Islam, akad nikah hanya terdiri dari tiga unsur pokok, yaitu sighat (perjanjian), wali nikah dan dua orang saksi, sedangkan walimah (akad nikah) tidak wajib melainkan hanya sunnah (anjuran). Upacara pernikahan umat Islam tidak boleh dilakukan di tempat ibadah (masjid) dan di hadapan para ulama.
Kesan setelah membaca buku tentang hukum perkawinan menurut perundngan, hukum adat, dan hukum agama. Banyak ilmu yang dapat diambil dari buku tersebut karena memiliki daftar isi yang lumayan lengkap dalam memaparkan materi tentang perkawinan dari pembahasan pengertian perkawinan hingga pembahasan perceraian dan pengadilan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H