Mohon tunggu...
Latif N. Janah
Latif N. Janah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Cerpen | Fotografi | Sandal Jepit | Batik | Sambal | Sepeda | Pasar Tradisional\r\n pacelatonlatif.wordpress.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perban Merah Putih

17 Agustus 2013   19:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:11 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perban Merah Putih

Oleh Latif N. Janah

Di sinilah kau sekarang. Duduk menghadap jendela di gerbong 1 pada bangku 11B. Seorang anak laki-laki lebih dulu mengambil tempat dudukmu. Hatimu tak mungkin bisa berbohong bahwa saat itu kau ingin marah, tetapi dengan ucapan amat halus, kau menyuruh bocah itu pindah, entah ke gerbong mana.

Kau mengambil keputusan secara mendadak. Tepat setelah menghadiri pemakaman seorang kawan, kau melanjutkan perjalananmu. Kau selalu setia dengan ular besi yang selalu menawan bagimu. Bahkan melebihi pesona kekasihmu sendiri. Kau tak mungkin patah hati, itu yang selalu terucap dari mulutmu. Tetapi, kali ini tak ada ketegasan dalam raut mukamu yang mengatakan demikian. Barangkali, ketidaksetujuan ayahmu tentang hubunganmu dengan gadis Belanda itulah yang membuatmu enggan ke rumah.

Bukan kali pertama kau merasakan yang seperti ini. Merasa asing di rumah sendiri. Saat dulu, seorang kerabat ayahmu tengah berkunjung ke rumahmu, ayahmu bahkan mengatakan padamu, “Jangan sekali-kali kau katakan siapa teman perempuanmu! Ayah malu!” Itulah yang selalu berdenging-denging di telingamu. Kemudian spontan saja, hatimu akan merasa teriris. Lalu, pikiranmu akan melayang ke masa yang silam, di masa kau dipertemukan Tuhan dengan gadis Belanda itu. Sedangkan ayahmu, berkeinginan menggendong seorang cucu dari rahim seorang keturunan Jawa asli, seperti dirimu.

Deru kereta adalah irama yang paling kau suka. Itulah mengapa, kau lebih memilih kereta daripada kendaraan lainnya. Pesawat udara tak akan menyuguhkan ragam cerita dari setiap bangku-bangkunya. Yang ada hanya kejenuhan. Dengan kereta, seolah pikiranmu lejar, bebas. Kau tak menghiraukan bagaimana bunyi ponselmu yang berdenging-denging. Terlebih, saat itu tertera kata “Ibu” berpendar-pendar dalam layarnya. Kau segera menenggelamkannya ke bagian ransel paling dalam. Tapi, satu hal yang tak kausadari hingga sekarang; kereta adalah tempatmu melampiaskan segalanya.

Seorang ibu duduk lesu di bangku seberangmu. Kau bisa saja menjangkau kain kebayanya yang menjuntai—beberapa menit lalu terinjak seorang polsuska yang meminta tiket—untuk kau naikkan ke tempat duduk. Ah,kau selalu tak mau dikatakan lelaki melankolis, tetapi melihatmu mengamati kebaya saja, pikiranmu langsung melesat pada wajah ibumu. Selalu, saat perayaan Hari Kemerdekaan digelar waktu kau masih  TK, kau tak mau  berseragam militer seperti kawan-kawan kecilmu jika ibumu juga tak didandani dengan kebaya.

Kau lepaskan pandangan keluar. Di sana, hamparan sawah terbentang, namun tak sedikit pun memberi kelapangan hatimu. Hatimu berulang kali merapal, bahwa ayahmu—suatu saat—akan memberikan restu untuk hubunganmu dengan gadis Belanda itu, Rachel namanya. Kau mengenalnya  di saat dan tempat yang tak pernah kau duga sebelumnya. Tentu saja saat itu kau tak akan mengira, jika ditengah kegamangan hatimu, kau akan menambatkan perasaanmu pada seorang gadis berkebangsaan penjajah bangsamu dulu. Barangkali, itulah yang membuat ayahmu tak pernah terluluhkan hatinya.

Saat itu, kau membantu operasi pencarian korban pendakian yang dikabarkan hilang. Entah bagaimana, kebetulan kau ditugaskan di di daerah itu. Kain merah putih melilit kepalamu, sepanjang kau melakukan pencarian. Dalam keputusasaan, seorang kawanmu berteriak meminta pertolongan. Di hadapannya, seorang gadis dengan lengan tergores ranting pohon terlihat merana. Spontan saja, kau melepas ikat kepalamu, lantas kau berusaha membebatkan pada lengannya. Tapi apa yang terjadi sungguh di luar dugaanmu. Gadis itu tak mau kau bebat dengan bendera negaramu sendiri. Ia menyuruhmu untuk tetap memakainya di kepala. Gadis itulah Rachel, kekasihmu sekarang—yang saat itu mengatakan, benderamu memang layak di kepalamu, bukan sebagai perban.

Seragam tentara adalah baju yang wajib kau kenakan saat ini. Dengan keterpaksaan yang berat, kau akhirnya menuruti kemauan ayahmu. Jika saja kau lebih tegas, seperti yang selalu kau katakan, barangkali nasibmu akan sebaik kakakmu. Ya, jika kau punya segudang keberanian seperti kakakmu yang lebih memilih pergi ke Belanda untuk mendalami keterampilan melukisnya tanpa peduli ayahmu tak lagi mengakuinya sebagai anggota keluarga. Ah, kenapa lagi-lagi Belanda? Kau merutuk dalam hati.

Peron yang bising oleh orang-orang adalah penyambutmu. Matamu kau edarkan, seperti tengah mencari seseorang yang menjemputmu, namun kau tahu, tak ada seseorang yang manunggumu di sini. Seorang simbok penjual pecel mengingatkanmu pada Rachel. Bagaimana pun, kau tak pernah suka dengan potongan kacang panjang dan bunga turi bertabur sambal kacang. Kau nyaris tak percaya saat Rachel memesan bungkus kedua, waktu itu. Bahkan, lidah Rachel lebih bisa merasa makanan khas negaramu sendiri.

Ranselmu kau benahi sedemikian. Meski tak berat, langkahmu terlihat sempoyongan. Bahkan, kau tak tahu ke mana ingin melangkahkan kaki. Akhirnya, dengan segala kekalahan yang menaungi hatimu, kau duduk di bangku panjang selepas melewati pintu keluar. Matamu bertabrakan dengan sebuah pemandangan.

Duduk di bangku seberang sana, seorang kakek bersama pemuda, barangkali anak atau cucunya—kau terka, pemuda itu seusiamu dan cacat mental. Wajahnya tirus. Mukanya pucat. Tubuhnya hanya seperti tulang, kurus kering. Kakek itu, rupanya seorang veteran. Kau baru menyadari ia mengenakan seragam veteran. Janggutnya dibiarkannya memanjang. Totol hitam memenuhi wajahnya. Tetapi, dari matanya, kau melihat kilatan semangat pejuang. Kemudian, kakek itu membuka bungkusan kecil. Dengan sendok plastik, disuapinya pemuda itu dengan telaten. Saat itulah kau sadar, ada yang menitik di sudut matamu. Kau merasa harus segara pulang.(*)

Gemolong, 17 Agustus 2013

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun