Mohon tunggu...
Latif N. Janah
Latif N. Janah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Cerpen | Fotografi | Sandal Jepit | Batik | Sambal | Sepeda | Pasar Tradisional\r\n pacelatonlatif.wordpress.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebatang Rindu di Lahan Tebu

23 April 2012   15:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:14 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


Batang-batang tebu berhamburan di tanah kering. Di lahan seluas hampir satu hektar itu kini dipenuhi sisa bara dan jelaga bekas pembakaran. Lahan itu kini gundul seiring sukacita yang merekah di hati para pemanennya.

Aku sedang duduk di tepi lahan bersama denganmu.

“Kau masih ingat dulu ketika kita bermain di lapangan itu?” tanyaku padamu. Jariku menunjuk sebuah lapangan bola yang berada di sebelah timur hamparan lahan tebu. Para pemanen kini sudah berkumpul. Truk-truk pengangkutnya juga telah siap di ujung jalan di pinggir lapangan. Ketika seorang mandor keluar dari truk, para pemanen itu menyambutnya dengan antusias. Beberapa galon air mineral yang dibawa mandor pun seketika habis ditenggak oleh tenggorokan mereka. Tengorokan kering dengan butiran keringat yang melesat turun membasahi baju-baju lusuh mereka.

Kau masih menekuni kegiatanmu. Jemarimu hampir tidak pernah berhenti menekan keyboard laptop yang bertengger di pangkuanmu. Kupandangi lagi mereka yang tengah kembali berjibaku dengan panas dan jelaga. Para pemanen tebu itu kini mengangkat hasil panen mereka ke truk-truk yang menanti di jalan. Ada senyum di bibir mereka yang tidak sengaja melihat kita, namun kau tetap saja menarikan jemarimu itu tanpa menghiraukan mereka.

“Kau ingat?” aku mengulangi pertanyaanku. Sama sekali bukan untuk memaksamu mengingat kembali kenangan yang kita lalui dulu. Aku hanya tidak ingin perjumpaan kita yang sebentar ini akan sia-sia belaka.

“Aku tidak mungkin lupa.” katamu akhirnya. Seketika kelegaan menjalar di hatiku. Kemudian kau menunjukkan sebuah foto yang ada di laptopmu. Kau memindahkan laptop itu ke pangkuanku sementara jari-jarimu berusaha menuntun tanganku yang gigu.

Aku mengamati foto-foto itu satu per satu dari satu slide ke slide yang lainnya. Foto-foto itu masih sama asli dengan yang kusimpan, hanya milikku sedikit lebih buram. Potret hitam putih di dalamnya begitu lugu tanpa neko-neko. Entah apa yang membuatmu berhenti menggerakkan jemarimu ketika terpapar gambar yang kita lihat. Di sana, di gambar itu kau mengenakan gaun berenda warna ungu muda, sementara aku mengenakan kemeja putih panjang. Satu orang di belakang kita menangkupkan dua tangannya. Satu di pundakku dan satu lagi di pundakmu. Wanita itu tersenyum lurus menghadap kamera sementara kau seperti biasa melipat bibirmu yang mungil, cemberut. Aku memindahkan ke slide selanjutnya, namun jarimu terlalu sigap untuk menahanku. Kau meraih laptopmu lagi dan menaruhnya di pangkuanmu seperti semula.

Para pemanen masih terus mengais batang-batang tebu. Sebagian mengikatnya dengan tali bambu, sebagian lainnya mengangkutnya ke truk pengangkut. Seorang di antaranya tersenyum lagi padaku. Dari sorot matanya bisa ditebak jika ia mengira aku dan kau sepasang kekasih.

“Aku masih berhutang satu hal padanya.” katamu setelah sekian menit terdiam. Foto itu masih terpampang jelas di hadapanmu. Matamu yang mulai dirembesi titik-titik air masih lekat dengan sosok yang kau maksud. Perlahan kau mengusapnya meskipun itu tidak membuatnya berhenti mengalir.

“Bukan salahmu.” aku bingung harus membalas apa tentang yang kau katakan. Semua yang terjadi memang bukan salah kita.

Dulu, hampir setiap pulang sekolah, kita bertiga menghabiskan waktu di lapangan ini. Menangkap kupu-kupu dengan jaring kecil yang kita kaitkan pada ujung batang kayu. Ia lebih lihai darimu dalam hal ini. Sebagai hasilnya, kau selalu cemberut saat kau tak dapat satu pun kupu-kupu sementara aku dan dia menggengam kantong plastik berisi dua atau tiga ekor kupu-kupu.

Kita lalu duduk di pinggir lapangan ini. Persis seperti posisi kita saat ini. Aku selau duduk diapit oleh kalian. Aku lalu memberikan kantong plastik itu padamu dan bersamanya, kau terbangkan lagi kupu-kupu dari kantong itu.

“Aku yakin ia akan senang seandainya melihat kita di sini.”

“Tidak, Ruvia. Ia akan lebih senang jika aku pergi dari kehidupanmu sekarang dan seterusnya.” tatapanmu yang lurus ke depan seketika beralih ke wajahku. Kau mengamati wajahku sejurus kemudian seolah kau belum pernah melihatku sebelumnya.

“Kenapa kau berkata begitu? Bukankah Vena ingin kita bersama? Seperti yang ia katakan sesaat sebelum ia mininggal?”

“Kau sudah bersuami, Ruvia. Dan aku tidak sepantasnya berada di sini bersamamu. Bersama istri orang lain.”

Kau kembali melepaskan pandanganmu ke lahan tebu. Menutup laptopmu segera. Aku ingat betul kebiasaanmu dulu. Kau suka menyendiri di tepian lahan yang paling lebat dengan bunga-bunga tebu. Ketika aku dan Vena datang, kau cepat-cepat menyuruh kami untuk memetikkan bunga tebu yang tinggi karena tubuhmu yang paling pendek di antara kita.

“Memang lebih baik jika begini. Jadi kau tak perlu merasa bersalah pada Vena.”

“Sebenarnya aku tak pernah benar-benar mencintai suami...”

“Tidak! Justru dialah yang terbaik untukmu. Kau tidak mungkin bisa mengembalikan apa yang sudah terjadi, Ruvia. Bahagiakanlah suami dan anakmu. Lagipula kita tidak pernah menjalin hubungan apapun sebelumnya. Aku, kau, dan Vena hanya teman semasa kecil, tidak lebih.”

“Dia kakakku, Taka. Dia ingin kita menikah!”

“Itu dulu! Kau tidak bisa lihat betapa orang tuamu memandang jijik terhadapku? Dan kau tahu, apa yang membuat aku, bahkan sampai saat ini tidak pernah bisa melupakan ucapan mereka? Mereka bilang aku tidak mampu untuk menghidupimu.”

Kau diam, berusaha mencerna setiap kata yang aku ucapkan.

“Kuharap ini pertemuan kita yang terakhir sehingga kau tidak perlu terus menyalahkan dirimu sendiri.” sambungku tanpa memandangnya sedikit pun.

Lapangan kini dipenuhi anak-anak yang bermain bola. Sebagian di antara mereka mengais batang-batang tebu yang terbakar, tidak perduli dengan tangan mereka yang mulai menghitam.
Para pemanen sudah berkumpul di dekat truk-truk pengangkut. Aku beranjak menuju mereka sebelum akhirnya berhenti setelah tanganmu meraihku.

“Maafkan aku, Taka.”

“Kau tidak salah.” kataku nyaris tak bersuara.

Aku kembali ke truk. Menghampiri para pemanen yang sedari tadi menungguku. Kau masih diam berdiri di tempatmu. Ketika aku sudah siap di depan kemudi, barulah kau pergi. Andai kau tahu, aku belum benar-benar menemukan penggantimu bahkan sampai saat ini.

Solo, April 2012

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun