Kita lalu duduk di pinggir lapangan ini. Persis seperti posisi kita saat ini. Aku selau duduk diapit oleh kalian. Aku lalu memberikan kantong plastik itu padamu dan bersamanya, kau terbangkan lagi kupu-kupu dari kantong itu.
“Aku yakin ia akan senang seandainya melihat kita di sini.”
“Tidak, Ruvia. Ia akan lebih senang jika aku pergi dari kehidupanmu sekarang dan seterusnya.” tatapanmu yang lurus ke depan seketika beralih ke wajahku. Kau mengamati wajahku sejurus kemudian seolah kau belum pernah melihatku sebelumnya.
“Kenapa kau berkata begitu? Bukankah Vena ingin kita bersama? Seperti yang ia katakan sesaat sebelum ia mininggal?”
“Kau sudah bersuami, Ruvia. Dan aku tidak sepantasnya berada di sini bersamamu. Bersama istri orang lain.”
Kau kembali melepaskan pandanganmu ke lahan tebu. Menutup laptopmu segera. Aku ingat betul kebiasaanmu dulu. Kau suka menyendiri di tepian lahan yang paling lebat dengan bunga-bunga tebu. Ketika aku dan Vena datang, kau cepat-cepat menyuruh kami untuk memetikkan bunga tebu yang tinggi karena tubuhmu yang paling pendek di antara kita.
“Memang lebih baik jika begini. Jadi kau tak perlu merasa bersalah pada Vena.”
“Sebenarnya aku tak pernah benar-benar mencintai suami...”
“Tidak! Justru dialah yang terbaik untukmu. Kau tidak mungkin bisa mengembalikan apa yang sudah terjadi, Ruvia. Bahagiakanlah suami dan anakmu. Lagipula kita tidak pernah menjalin hubungan apapun sebelumnya. Aku, kau, dan Vena hanya teman semasa kecil, tidak lebih.”
“Dia kakakku, Taka. Dia ingin kita menikah!”
“Itu dulu! Kau tidak bisa lihat betapa orang tuamu memandang jijik terhadapku? Dan kau tahu, apa yang membuat aku, bahkan sampai saat ini tidak pernah bisa melupakan ucapan mereka? Mereka bilang aku tidak mampu untuk menghidupimu.”