“Kau sudah besar rupanya.” ujarnya setelah beberapa saat mengamati wajah saya seolah kami saling mengenal.
“Terima kasih, Mir. Aku telah banyak berhutang padamu. Jika kejadian dulu itu tak terjadi, mungkin hidupmu juga tak akan terbebani.” ia mendengus, mengeluarkan asap tebal dari mulutnya.
“Aku sudah sering kau jadikan kambing hitam seperti ini. Asal kau tahu, mungkin Mas Bowo masih mencintaimu daripada aku.” saya mendengar nama Ayah disebut dan saat itu yakinlah saya bahwa wanita itu adalah orang yang Ibu sebut-sebut tempo hari.
“Aku boleh mengajak Ranju ke rumah?” tanya wanita itu lalu mengalihkan pandangannya pada saya.
“Mas Bowo tak pernah mengijinkan.”
“Ah, keras kepalanya tak pernah hilang.” ia mengepulkan asap lagi. Kali ini lebih panjang dan lebih lama. Saya baru sadar jika ada sebuah tatto yang menghiasi lengannya ketika ia membenahi topi yang dipakainya.
“Sepertimu.” Ibu berseloroh.
“Ini untukmu.” wanita itu mengambil sebuah amplop cokelat tebal lalu menyodorknnya pada Ibu. Amplop yang saya duga berisi uang itu segera berpindah tangan.
“Memang tak banyak, Mir. Aku hanya ingin memberi Ranju apa yang seharusnya ia terima.”
Saya dan Ibu bergegas keluar dari tempat itu sementara mata wanita itu masih mengekor kami. Barulah pandangannya benar-benar beralih pada koran di meja saat saya duduk di jok mobil.
***