Mohon tunggu...
Lathifatus Mumtaz
Lathifatus Mumtaz Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Teknik Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Seseorang yang sangat suka melihat konten memasak dan hobi nge-game

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Lebih dari Sekadar Bumbu: Garam sebagai Pilar Ketahanan Pangan dan Energi Nasional

9 Desember 2024   22:30 Diperbarui: 9 Desember 2024   22:41 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebutuhan Garam di Indonesia 2016-2019 (Sumber Foto: Kementrian Perindustrian RI)

PENDAHULUAN

Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia. Potensi lautnya yang melimpah menjadikan garam sebagai salah satu komoditas strategis. Namun, tingginya impor garam menunjukkan adanya kesenjangan antara potensi dan pemanfaatan.

Garam merupakan padatan berbentuk kristal berwarna putih, mengandung senyawa Natrium Chlorida (NaCl) dan zat lain seperti CaSO4, MgSO4, MgCl2 (Durack et al. (2008). Garam bisa diproduksi dengan tiga cara yang berbeda, yakni menguapkan air laut dengan bantuan sinar matahari, menambang garam dari bebatuan di perut bumi (rock salt), dan menambang garam dari sumur air garam (brine). Indonesia menggunakan cara pertama, sehingga produksi garam dipengaruhi oleh cuaca dan iklim. Indonesia berpotensi menjadi negara pengekspor garam karena memiliki garis pantai terpanjang nomor empat di dunia, yakni 95.181 km.

Garam digunakan sebagai bahan baku industri dan sebagai salah satu barang kosumsi. Garam konsumsi digunakan untuk kebutuhan rumah tangga, seperti memasak. Tubuh kita sendiri masih membutuhkan garam untuk melakukan banyak hal yang baik untuk kesehatan kita, seperti meyimbangkan tingkat gula tubuh atau menstabilkan detak jantung yang tidak teratur. Sebagai contoh, garam industri digunakan dalam industri sabun dan karet untuk membedakan gliserol dari air (sabun) dan karet dari getahnya (karet).

Garam yang biasanya digunakan untuk bahan baku industri harus memiliki kandungan natrium chlorida (NaCl) minimal 97 persen, dan memiliki kandungan lain seperti magnesium dan kalsium 660 ppm, serta kadar air maksimum 0,5 persen. Untuk garam konsumsi, kandungan NaCl minimal hanya sebesar 94 persen (Rusiyanto et al., 2013). Petani garam Indonesia masih sanggup memenuhi kriteria garam konsumsi, namun sulit untuk bisa memenuhi tuntutan garam industri. Kendala ini tampaknya merupakan alasan utama mengapa impor garam terus berkembang di Indonesia.

Para petani garam dan PT. Garam (persero) bertanggung jawab atas produksi garam Indonesia. Satu-satunya Badan Usaha Milik Negara di Indonesia adalah PT. Garam. PT. Garam hanya memiliki lahan penggaraman di Madura, yang terletak di wilayah Sampang, Pamekasan, Sumenep I, dan Sumenep II/Gersik Putih, dengan total luas lahan ±5.340 ha. Para petani garam, termasuk karyawan resmi PT. Garam, bertanggung jawab atas proses produksi. Namun, garam tersebut termasuk dalam kategori garam rakyat karena beberapa bagian lahan disewa oleh rakyat.

Garam rakyat berasal dari sepuluh provinsi di Indonesia yang memiliki luas lahan tambak garam yang berbeda. Lahan tambak garam meningkat pada tahun 2017, seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 1. Petani memiliki lebih banyak produksi daripada PT. Garam karena luas lahan mereka. Hingga saat ini, dua produsen garam utama di Indonesia masih bersaing dalam produksi garam, khususnya garam konsumsi.

Dengan volume awal sebesar 349.042 ton, impor garam Indonesia terus berlanjut sejak tahun 1990. Pada saat itu, ada kelangkaan cuaca yang disebabkan oleh anomali cuaca yang tidak menguntungkan di Indonesia, jadi impor garam harus dilakukan. Hanya garam industri yang dapat diimpor. Namun, jumlah impor garam Indonesia terus meningkat setiap tahunnya, membuatnya tidak mencukupi kebutuhan.

Dalam kebutuhan, produksi, dan volume impor garam yang menunjukan adanya kelebihan garam yang diterima Indonesia. Seperti di tahun 2014 kebutuhan akan garam sebesar 3.661.990 ton dan produksi garam lokal pun mencapai 2.192.168 ton, akan tetapi volume impor garamnya pun pada tahun ini terlampau tinggi yaitu mencapai 2.251.557 ton. Sehingga banyaknya kuantitas garam yang diimpor menjadi kecurigaan banyak pihak yang menganggap bahwa bukan hanya garam untuk pemenuhan kebutuhan industri saja, bisa jadi adanya campuran untuk garam konsumsi juga (Kementrian Kelautan dan Perikanan).

Namun, dari perspektif produksi domestik, baik petani garam maupun PT. Garam (Persero) sendiri gagal mempertahankan tingkat produksi setiap tahunnya. Produksi garam nasional menurun hingga 96% pada tahun 2016 dibandingkan tahun 2015. Masih disebabkan oleh anomali cuaca La Nina, yang menyebabkan kemarau basah. Produksi garam rakyat pada tahun 2016 hanya 144.000 ton, hanya sebesar 4% dari target yang seharusnya. Namun, hingga akhir tahun 2016, masih ada 120.671 ton sisa garam di Indonesia. Dengan demikian, pemerintah dapat membatasi impor garam ke Indonesia secara ketat di tahun berikutnya.

Memiliki garis pantai yang panjang nomor empat di dunia tidak membuat Indonesia penghasil garam terbesar di dunia. Cina adalah negara penghasil garam terbesar di dunia dengan 68.517.465 ton (Otieno, 2017). Tidak mengherankan bahwa Cina menyalip Amerika Serikat dan India dalam produksi garam terbanyak dan terbaik di dunia, karena industri garam negara tersebut sangat digarap serius.

Indonesia memiliki berbagai lokasi strategis untuk produksi garam, seperti Madura, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Sulawesi Selatan. Kondisi geografis dan iklim tropis dengan sinar matahari yang melimpah merupakan keunggulan utama.

METODE PENELITIAN

Untuk artikel ini, metode yang dapat digunakan adalah kombinasi pendekatan deskriptif kualitatif dan studi literatur:

  • Deskriptif Kualitatif:

Artikel ini mengidentifikasi dan menganalisis tantangan serta peluang dalam produksi garam di Indonesia berdasarkan data statistik, laporan pemerintah, dan analisis empiris dari studi sebelumnya.

  • Studi Literatur:

Artikel menggunakan referensi dari jurnal ilmiah, laporan industri, dan publikasi resmi untuk mendukung argumentasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data Potensi Produksi Garam

  • Produksi Tahunan: Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), produksi garam nasional mencapai 2,3 juta ton pada tahun 2023. Namun, kebutuhan nasional mencapai 4,5 juta ton.
  • Lokasi Utama:

    • Madura: 60% dari total produksi nasional.
    • NTT: Memiliki potensi luas lahan hingga 25.000 hektar

Tentunya ada berbagai tantangan dalam produksi garam oleh petani garam di Indonesia, faktor pertama yaitu keterbatasan teknologi. Sebagian besar petani garam di Indonesia masih mengandalkan metode tradisional, seperti teknik evaporasi sederhana, yang dianggap kurang efisien. Hal ini berdampak pada rendahnya produktivitas serta kualitas garam yang dihasilkan. Akibatnya, garam lokal sering kali tidak mampu memenuhi standar yang diperlukan untuk kebutuhan industri, seperti farmasi, kaca, dan bahan kimia lainnya. Kurangnya adopsi teknologi modern dalam proses produksi garam menjadi salah satu hambatan utama yang menghalangi pengembangan sektor ini secara lebih kompetitif.

Selanjutnya adalah faktor ketergantungan pada impor garam di Indonesia. Tingginya kebutuhan akan garam industri di Indonesia menyebabkan ketergantungan yang signifikan pada impor, dengan lebih dari 80% kebutuhan industri harus didatangkan dari negara lain, seperti Australia dan India. Hal ini terjadi karena kualitas garam lokal kerap kali tidak sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan untuk keperluan industri tertentu. Keterbatasan tersebut menunjukkan adanya kesenjangan antara kapasitas produksi garam lokal dan permintaan dari sektor industri, yang terus meningkat setiap tahunnya.

Faktor ketiga adalah faktor cuaca dan iklim. Produksi garam di Indonesia sangat bergantung pada kondisi cuaca, terutama musim kering yang ideal untuk proses penguapan air laut. Namun, perubahan iklim global kini memengaruhi pola cuaca, menyebabkan musim hujan yang lebih panjang dan tidak menentu. Hal ini mengakibatkan gangguan pada stabilitas produksi garam, karena curah hujan yang tinggi dapat merusak ladang garam dan mengurangi hasil panen. Ketergantungan terhadap faktor alam ini menjadi tantangan besar bagi keberlanjutan industri garam nasional.

Produksi garam telah mencapai 2,5 juta ton, sebesar 147 persen dari target 1,7 juta ton tahun 2023, menurut Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Target produksi garam sebesar 2,2 juta ton dicapai oleh sektor produksi garam rakyat, sedangkan sebagian besar diproduksi oleh perusahaan garam swasta nasional. Sebanyak 13 Provinsi berkontribusi pada pencapaian target tersebut (Kementrian Perikanan dan Kelautan).

Dari berbagai tantangan yang dialami oleh para petani garam, ada berbagai solusi yang bisa dilakukan. Peningkatan teknologi produksi garam merupakan langkah penting dalam mengoptimalkan hasil dan kualitas produk. Salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah penggunaan teknologi geomembran, yang terbukti efektif dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi garam. Penelitian menunjukkan bahwa penerapan teknologi ini dapat mempercepat proses pengeringan air laut, menghasilkan garam yang lebih putih dan bersih, serta meningkatkan kandungan NaCl dalam produk akhir. Selain itu, investasi dalam fasilitas pengolahan juga sangat diperlukan untuk meningkatkan standar garam lokal, sehingga produk yang dihasilkan dapat bersaing di pasar domestik maupun internasional.

Diversifikasi produk garam juga menjadi strategi kunci yang perlu diterapkan. Dengan mendorong produksi garam industri dan garam farmasi, petani dapat memperluas pangsa pasar mereka. Pelatihan dan pendampingan bagi petani akan membantu mereka memahami cara memproduksi garam dengan nilai tambah yang lebih tinggi, seperti garam spa, garam bumbu, dan garam cair. Pengembangan produk turunan ini tidak hanya memberikan variasi tetapi juga meningkatkan pendapatan petani. Diversifikasi ini penting untuk mengurangi ketergantungan pada satu jenis produk dan menciptakan peluang baru di pasar.

Kebijakan pemerintah yang mendukung juga sangat berperan dalam optimalisasi aktivitas petani garam. Pemberian subsidi kepada petani garam lokal dapat membantu mereka mengatasi biaya produksi yang tinggi dan meningkatkan daya saing produk mereka. Selain itu, penting untuk meningkatkan sinergi antara Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, serta pemerintah daerah untuk menciptakan kebijakan yang terintegrasi dan efektif dalam mendukung industri garam nasional. Dengan dukungan kebijakan yang tepat, petani akan lebih termotivasi untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi mereka.

Akhirnya, peningkatan riset dan pengembangan harus menjadi prioritas untuk menciptakan inovasi dalam produksi garam. Kolaborasi dengan perguruan tinggi dan lembaga penelitian dapat menghasilkan teknologi baru yang lebih efisien dan ramah lingkungan. Penelitian juga perlu difokuskan pada pencarian varietas unggul bahan baku garam yang lebih adaptif terhadap perubahan iklim, sehingga ketahanan produksi dapat terjaga. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan sektor pergaraman dapat berkembang secara berkelanjutan dan memberikan manfaat ekonomi yang signifikan bagi masyarakat.

KESIMPULAN

Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi negara mandiri dalam produksi garam, tetapi diperlukan langkah strategis untuk mengatasi berbagai tantangan yang ada. Untuk mencapai swasembada garam di Indonesia, diperlukan pendekatan holistik yang mencakup peningkatan teknologi produksi, diversifikasi produk, kebijakan pemerintah yang mendukung, serta sinergi antara berbagai pihak. Dengan langkah-langkah strategis ini, Indonesia tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan garam domestik tetapi juga menciptakan stabilitas ekonomi dan ketahanan pangan di tingkat nasional. Pencapaian kemandirian dalam produksi garam akan memberikan dampak positif bagi masyarakat pesisir dan memastikan keberlanjutan sektor kelautan di Indonesia secara keseluruhan.

REFERENSI

  1. Kementerian Kelautan dan Perikanan (2023). Statistik Produksi Garam Nasional.
  2. Badan Pusat Statistik (2023). Laporan Konsumsi dan Impor Garam Indonesia.
  3. Dewan Garam Indonesia (2022). Tantangan dan Peluang Sektor Garam Nasional.
  4. Durack, E., Alonso-Gomez, M., & Wilkinson, M. G. (2008). Salt: A Review of its Role in Food Science and Public Health. Current Nutrition & Food Science, 4, 290-297.
  5. Jurnal Teknologi Pertanian Indonesia (2022). "Inovasi Geo-membran dalam Produksi Garam".
  6. FAO: Salt Production in Coastal Countries.
  7. Rusiyanto, R., Soesilowati, E., & Jumaeri, J. (2013). Penguatan Industri Garam Nasional Melalui Perbaikan Teknologi Budidaya dan Diversivikasi Produk. Sainteknol, Jurnal Sains dan Teknologi, 11(2), 129-142.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun